Orang bego kalo sok tahu ya jadinya huru hara macam begini.
Yang sesungguhnya ada di kepalaku waktu itu ialah, karena stasiun kutoarjo ini stasiun kecil, maka idealnya kereta idaman kami ini cuma akan singgah sebentar di stasiun ini. Mengangkut penumpang, lalu kembali jalan. Aku lupa bahwa sawunggalih bukan KRL di jakarta yang berhentinya cuma 10 detik. Bego!
Maka jadilah, aku dan Zahra memasuki sawunggalih seperti orang udik. Kepanasan dan pecicilan membuka semua kaca di tiap tempat duduk yang belum ada orangnya. Bermain-main dengan pengontrol kipas angin yang berada di wilayah tempat duduk kami. Merasa berkuasa. Mengucapkan banyak terima kasih pada para pedagang dengan suara seperti kaleng dipukul. Kalap melahap nasi telur yang direcoki Zahra. Menolak ragu-ragu seorang ibu penjual gorengan, lantas menyesal, berharap si ibu kembali dan yak, benar si ibu kembali. Suaraku keluar lebih cempreng dari yang kuperkirakan ketika memanggil si ibu gorengan di ujung gerbong. Dan tingkat kecemprengan sebenarnya berbanding lurus dengan suasana hati. Semakin cempreng suara seseorang berarti saat itu hatinya sedang senang..
Tidak perlu percaya karena ini memang tidak ilmiah.
Kereta sawunggalih saat itu masih sepi tapi menjadi riuh dengan suara kaleng kami.
"Waa bagus! Lagi...lagi."
"Yah.. yang ini blur. ISOnya digedein"
"Mode cantik.. mode cantik"
"Ha, wajah tidak terdeteksi?"
"Fotoin sama Yusan dong."
"Udah belom? lama banget sih?"
"Namanya jg pake mode cantik.Mmg lama soalnya muka lo dbikin cakep dulu.Kan susah"
"Sialan!"
"Gila, ini dimana-mana merah kayak kebakaran"
"Fotoin bapak reservasi yang ngegodain Yusan tadi!"
Mengeluarkan kamera berarti sama dengan mengundang terjadinya hiruk pikuk yang lebih memalukan. Aku langsung sibuk mengabadikan Zahra yang siap dengan berbagai macam posenya. Zahra sendirian. Zahra dengan Yusan. Zahra sendirian. Zahra dengan Yusan. Zahra dengan Yusan. Zahra dengan Yusan. "Gue kapan?" Fotografer mulai sebal. Para pedagang yang tadinya hilir mudik bahkan sampai antri sejenak karena kami berfoto dengan mengambil lapak seenaknya. Mereka senyum-senyum kecil saja. Aku bisa menebak apa yang ada di pikiran mereka, "Mbaknya cantik-cantik tapi pada udik".
"Muka intelektual tapi naik kereta aja kampungan".
"Ini biasa naik eksekutif apa biasa naik ekonomi ya? Kok pada norak semua".
Kak Yusan dan Zahra "Terorist Merah" |
Sepasang suami istri muda yang duduk di depan kami membalik kursi. Si Zahra langsung kumat noraknya, menjerit "kok bisa?" seperti itu salah satu keajaiban dunia. Mbak Yani, perempuan muda yang membalik kursi tadi akhirnya mengajari. Rupanya tinggal ditarik saja. Keramaian kami memicu rasa penasarannya, aku menyambut baik dengan mengajaknya berkenalan. Ia dan suaminya tinggal di Jakarta, datang ke Kutoarjo untuk menjenguk anak laki-laki mereka. Mbak Yani juga ternyata pernah bekerja di Mirota Kampus, maka mulailah aku menanyakan hal-hal semacam "itu gudangnya ada di mana sih mbak? gede banget ya?" sampai "kantin yang di paling atas itu katering buat pegawai ya? pernah ada ketahuan nonpegawai numpang makan nggak mbak?" Yap! Naluri kepo!
Jadi akhirnya aku dan Zahra membalik tempat duduk kami ke belakang. Menghadap tempat duduk kosong yang ditempati Kak Yusan, membelakangi Mbak Yani dan suaminya yang ternyata sedang masuk angin. Kami langsung ribut menawari minyak telon dan minyak angin yang kubawa, bahkan koyo juga! Si mas-mas masuk angin cuma tersenyum antara ngeri dan takjub. Diam-diam aku mencoba-coba lagi kemampuan cenayangku, berusaha membaca pikiran si mas-mas masuk angin lewat airmukanya, "ini mbaknya cantik-cantik, mau baik tapi nawarinnya kayak calo. udah maksa, ribut pula" Akhirun, si mas-mas masuk angin cuma minta agar kami mematikan kipas angin, tentu saja biar ia tidak semakin masuk angin.
Baiklah! "Kendali ada pada kita!" kata Zahra dengan bangga. Aku mengangguk heroik. Dengan begini, berarti kami sudah menyelamatkan satu orang yang masuk angin agar tidak semakin masuk angin. Viva Melyn-Zahra!
Di luar cuma ada gelap. Sayup-sayup kedengaran suara musik pop entah darimana. Aneh, apa mungkin kereta api bisnis ada musiknya?
"Kok tiba-tiba bisa ada lagu?" tanyaku heran pada Zahra dan Yusan. Kami pun ribut mencari. Tiba-tiba Kak Yusan menggerakkan kepala ke arah tempat duduk yang berada 1.5 meter di belakangku. Di sana, seorang bapak tidur berbaring dengan menggenggam speaker. Dari speaker itulah lagu-lagu ini berasal. Tawa kami meledak diiringi lagi more than words yang rasa-rasanya tidak akan pernah mati bahkan sampai 50tahun lagi. Dan detik berikutnya, malah kami yang sudah nyanyi-nyanyi.
"Untung selera musiknya bagus." kata Kak Yusan. Aku mengangguk sepakat.
Tapi yang masih mengganjal ketenanganku sedari tadi ialah keinginan memfoto bapak pemegang speaker itu. Segera kuutarakan hal yang mengganjal ini pada Zahra, mendengar itu dia langsung berdiri, meraih kamera kemudian berjalan mendekati si bapak pemegang speaker. Dan aku pasti punya sistem intuisi dan refleks yang bagus, karena selanjutnya, sebelum Zahra berhasil sampai ke hadapan muka si Bapak dan memfotonya secara terang-terangan di depan khalayak ramai, aku sudah menarik Zahra keras-keras sampai ia kembali terduduk.
Entah Zahra yang bolot atau memang aku yang terlanjur visioner. Tapi setidak-tidaknya memfoto orang tanpa izin saja sudah tidak sopan, bagaimana bisa temanku yang cerdas ini mau memfoto tanpa izin sambil disaksikan banyak orang? Coba bayangkan kalau ternyata penumpang 1 gerbong ini saudaranya si bapak speaker semua, lalu saudara-saudaranya itu tidak terima karena merasa salah satu anggota keluarganya sudah dilecehkan karena difoto saat tidur secara diam-diam. Dikenai pasal perbuatan tidak menyenangkan sih masih lumayan, apa jadinya kalau sampai dilempar keluar ramai-ramai?
Tapi untunglah sejak kecil aku sudah diajar untuk berpikir cemerlang. Jadi, yang selanjutnya kulakukan ialah meminta Zahra merekam.Aku berpura-pura jadi pembawa acara entah apa yang sedang melakukan reportase di dalam kereta. Dengan begini yang kami dapatkan bukan cuma foto! tapi juga rekaman lagu india. Aha!
Bangun-bangun aku menemukan Yusan berjaga sendirian. Selama ini aku percaya bahwa bermalam di kereta sama saja dengan memilih malam terpanjang. Dan itu menyebalkan kadang-kadang kalau kita cuma sendirian. Aku mengomeli Zahra yang terbangun setelahnya. Ternyata Kak Yusan masuk angin. Kasihan Kak Yusan, dia masuk angin dan harus berjaga sendirian. Zahra membaluri punggung Kak Yusan dengan berbagai minyak yang kami bawa sementara aku mengguntingi koyo. Cirebon sudah dari tadi lewat dan kereta mulai masuk Stasiun Jati Negara. Aku melihat orang-orang tidur beralas koran di beton-beton peron. Cahaya kuning lampu jatuh di atas tubuh mereka. Bagaimana bisa manusia tidak membeku tidur dengan cara seperti itu? Atau barangkali memang tubuh mereka didesain dengan cara yang berbeda?
Lampu-lampu kuning mulai banyak dan aku menjadi seperti laron di musim hujan.
Selamat datang lagi, Mel, di Jakarta. :D
p.s: karena flashdisk berisi poto-poto+video reportase kereta sawunggalih ketinggalan di jakarta. maka tulisan ini kelak akan di posting ulang. Silahkan nantikan. Selamat siang. :)
kurang fotonya nih...
ReplyDelete:P
haha.. iya ni gara flashdisk ketinggalan :(
ReplyDeleteke jakarta ga bilang2 :(
ReplyDelete