Skenario pun berubah.
Akhirnya, setelah menempuh berbagai cara akhirnya Azka berhasil juga menyeret Nyai Fanny keluar dari peraduannya. Cola sisa makan kelewat malam aku dan Zahra di McD beberapa jam sebelumnya tergengggam di tangan, bercampur dengan serpihan tembakau dari rokok Azhar, dalam dekapanku ada sebotol penuh aqua botol ukuran besar yang baru saja diisi dengan air keran, sementara Azhar yang berbadan paling besar dan secara kebetulan merupakan sosok yang paling ganteng sendirian membawa cake.
1, 2, 3..
Semuanya berjalan cepat.
Fanny keluar, Zahra menyiramnya dengan air Cola, lalu ada teriakan, Azka mengejar, Fanny berlari kembali masuk kosan, mungkin dikiranya ada segerombol orang jahat yang berniat menyiramnya dengan air raksa (emang kurangkerjaan, siapa juga yang mau?), akhirnya aku dan Zahra ikut berlari mengejar naik ke atas, memohon agar Fanny tidak berteriak dan dapat dengan sukarela turun ke bawah. Kalian tau kenapa? Yap, karena malam sudah tua, anak-anak. :)
Riwayat rusuh di kosan Mahendra Bayu memang tidak bisa dibilang membuat bangga. 2 kali didatangi RT serta berkali-kali ditegur tetangga depan kosan dan menjadi bahan pergunjingan baik di depan maupun belakang. Dari forum ilegal hingga forum formal. Sedikit banyak sudah membuat kosan warna orens yang berada di ujung gang campursari ini fenomenal. Masalahnya bukan soal cowok yang keluar masuk ataupun para penghuninya yg pernah tertangkap mabuk. Tapi karena ribut. Luar Biasa!
Jadi akhirnya begitulah, Fanny keluar dan aku langsung mengguyurnya dengan air sebotol besar, mengabaikan botol cuka yang Azka sodorkan. Kata Azhar, cuka pedih kalau kena mata. Aku juga tidak mungkin setega itu, tapi ternyata, Azka tidak kehilangan akal, tiba-tiba saja ia sudah menumpahkan entah royco entah masako ke atas rambut Fanny.
"Rambut lo udah kayak sop ayam," katanya sembari ngakak guling-guling.
Aku menganggapnya sebagai perut lapar tengah malam yang berimajinasi. Mengabaikan fakta bahwa tidak sampai 1 jam lalu ada Nasi Ayam Medium yang masuk ke perutnya waktu kami di McD. Dan malam yang sudah tua pun mendadak hiruk pikuk.
"Aaaa.. Rivan!" tunjuk Fanny kepada Azhar yang membawa kue. "Plis dong berubah jadi Rivan."
Kami semua meledak. Yang seperti ini benar-benar Mahendra Bayu, curcol anytime anywhere.
"Bukan! Ini tuh Akbar." ---> ikut curcol.
"Bukan! Ini Galih."---> perang curcol.
Maka, kesimpulannya adalah Azhar = Rivan+Akbar+Galih. Ketiga orang itu sebenarnya luka bagi tiap orang yang berbeda, menyebutnya cuma akan berujung pada dua, dimaki rame-rame atau dikutuk homo.
Kalau mau jujur, sebenarnya kami sudah berusaha menekan kerusuhan. Fanny yang tadinya berniat mencoreng-morengi wajah kami dengan krim kue sudah berhasil kami sadarkan dengan "woi, itu,cokelat gula telur tepung, mendingan dimakan daripada dibuang-buang." ----> anak kos banget! antara empati dan enggak mau rugi.
Tapi pada kenyataannya, malam memang sudah tua, lingkungan tempat kami tinggal tidak didesain cocok dengan segala sesuatu yang berbau huru-hara. Prahara datang tepat setelah Azka iseng mencorengi muka Azhar dengan krim kue. Lalu lampu rumah tetangga depan menyala! JENGJENG!
Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah apa yang kami sebut sebagai tindakan refleks tanggap bencana yang mana sebenarnya sangat tipis bedanya dengan prilaku pengecut: berebut lari masuk kosan.
Zahra yang tadinya pincang mendadak jadi atlet lari. Semuanya berjuang menyelamatkan diri. Rusuh SERUsuh-rusuhnya. Sampai di garasi, yang ada di kepalaku cuma Azhar. Gimana jadinya nasip anak itu? Kata-kata "Azhar suruh masuk!" berteriak-teriak di pikiran seperti bisa kulisankan. Nasip Ellen dan Dame gentayangan di kepala Mita. Sementara Azka, Fanny, Alifa, Mita, Zahra rusuh menaiki tangga, aku membalik badan, hendak mengecek Azhar, tapi melalui celah pintu, kulihat pemilik rumah depan sedang berdiri garang di pekarangan. Alamak! Niat mulia itu pun hilang bersamaan dengan gembok pintu garasi yang kutinggalkan. "Maaf ya, Zhar."
Dari luar, suara-suara kemarahan berlesatan.
Dan kami saat itu memang pengecut, bergerombol di depan kamar Azka. Memikirkan Dame, Ellen dan Azhar bagaimana nasipnya. Nama Mita dan Azka keluar. Aku menarik tangan Azka, menahannya untuk tidak menjulurkan kepala lewat beranda. Tetangga depan rumah masih saja marah-marah. Emosi to the Max! Tapi ternyata apa yang ada di kepala kami semua sama. Kami membayangkan Azhar di luar, dengan kue di tangan, menunduk sambil dimarah-marahi, dalam hati mengutuki kami. Akhirnya, karena terlanjur iba dengan bayangan yang sebenarnya belum tentu benar, kami memutuskan keluar. Meski takut-takut.
Begitu keluar, ternyata lampu teras tetangga depan sudah keburu padam. Kami celingukan, menatap separuh iba separuh geli pada Ellen dan Dame yang berpelukan ketakutan di celah pohon dan tembok. Bertanya dengan bahasa tubuh campur bahasa kalbu tentang keberadaan Azhar. Mereka menunjuk selatan: lapangan basket.
Rasanya separuh lega menemukan fakta bahwa apa yang ada di pikiran kami salah. Bahwa Azhar ternyata baik-baik saja. Ternyata Azhar punya sistem tanggap bencana yang lebih hebat. Kami menyuruh Ellen dan Dame untuk pelan-pelan masuk ke kosan. Mereka berjalan dengan menanggalkan sendal ---> yang ini namanya pintar. Lalu hal lain yang harus dipikirkan adalah Azhar, atau mungkin sebenarnya kue yang ada pada Azhar ----> yang ini namanya kejam :P
Beberapa menit kemudian, terdengar suara motor. Kami semua sepakat berasumsi bahwa itu Azhar. Motornya memang diparkir di dalam gang yang ada di sebelah kosan. Tiba-tiba datang sms,
"ini gimana kue?" tanya Azhar seperti yang dibacakan Zahra.
"buat lo aja. maaf ya," balas Zahra tanpa bertanya. Kami semua berpandangan.
"aku sebenernya mau," kata Ellen malu-malu. "Aku jugaa," tambahku tidak tahu malu. Tabiat anak kosan bener. Enggak mau rugi. Untungnya Azhar seperti paham soal ini, dia berkeras mengembalikan kue yang mana sebenarnya bisa dia nikmati sendirian tanpa gangguan. "Lo keluar, masa iya gue yang masuk ke dalem," smsnya pada Zahra. Adegan pandang-pandangan terjadi lagi, semua orang belum ada yang sudi kembali keluar lantaran masih merasa terancam. Untunglah, ada Sevi, teman kampus Fanny yang mau merelakan diri. "kalo gue kan tetangga lo nggak kenal. lagian bukan gue yang tinggal tetanggaan sama dia," begitu katanya kalau enggak salah. Betul, juga!
Akhirnya, sisa malam itu dihabiskan dengan duduk berjejer di depan kamar Alifa yang mana bersebelahan dengan kamarnya Fanny. Makan kue sambil menggosip ramai. Menertawai kebodohan kami yang kenapa juga mesti pada ngibrit lari macam maling ayam. Membayangkan wajah bodoh Azhar yang sial mesti tawaf 1blok sambil bawa-bawa kue. Iya, Azhar yang tinggi besar, gondrong berkumis dan pake tas ransel itu, melintasi lapangan basket dengan kue yang baru hilang sepotong.
Si Fanny berulangkali parno, mengira suara musik dari salah satu kamar adalah ribut-ribut massa yang berkumpul di luar. Nggak lucu banget ngasih surprise ulang tahun aja sampe digerebek.
Maka akhirnya, kami semua sepakat untuk minta maaf ke tetangga depan besok pagi. Aku dan Zahra ditunjuk jadi juru bicara. Memang sial.
Epilog: Keesokan paginya Mita, Aku, Zahra dan Alifa memberanikan diri minta maaf. Hasil dari minta maaf itu ialah kesepakatan untuk tidak melakukan perayaan apapun setelah pukul 12 malam (kalau mau lebih bagus pagi atau siang), tidak boleh berisik turun tangga (untuk soal ini aku oknumnya) dan tidak boleh jejeritan tiba-tiba (mention @ramindazka wa @FANARIESTA). Selain itu, Azhar yang sial kecorengan krim kue, jaketnya kesemutan (maksutnya dirubung semut, gitu) dan untuk itu Azka dikatain Kampret. Yehey!
No comments:
Post a Comment
Hai hai terimakasih udah mampir dan baca sampai akhir. Silahkan tinggalkan komentar biar aku bisa mampir ke blog kalian juga.
Cheers :D