Tapi tentang bagaimana atap-atap bisa berhimpitan dengan begitu padat? Bagaimana bisa dinding-dinding saling berdampingan dengan sebegitu rapat?
Bagaimana bisa orang menjadikan sepetak tanah di bawah jembatan sebagai tempat tinggal?
Hal-hal yang paling kuingat dari Jakarta kebanyakan memang bukan hal menyenangkan. Yang aku tahu, segala sesuatunya sangat tidak welcome.
Tapi kali ini lain. Yang paling menyenangkan dari berperjalanan adalah menemukan rumah, dan rupa-rupanya butuh kali kelima untuk akhirnya aku berhasil menemukan rumah di Jakarta.
Di stasiun pasar senen, kami dijemput oleh Ayah Zahra dan abangnya. Saat itu pukul 3 pagi buta dan orang-orang di stasiun bergelimpangan di lantai seperti yang kulihat di barak pengungsi pasca tsunami. Ayah Zahra adalah pria paruh baya seumuran ayahku, dengan celana jeans dan sepatu olahraga serta topi yang dipakai untuk menutupi uban di kepala, penampilan ayah zahra jelas tampak lebih muda. Impressif! Sementara abang zahra adalah sosok kebalikannya. Kata yang tepat untuk menggambarkannya adalah Luar Biasa! Luar biasa pendiam dan luar biasa kurus! Benar-benar luar biasa!
Rumah yang ditempati keluarga Zahra adalah rumah tua warisan neneknya. Ada pohon belimbing seperti yang ada di rumah nenekku dulu. Percaya atau enggak, rata-rata rumah tua pasti selalu ada pohon belimbingnya. Iya, ini memang lagi-lagi enggak ilmiah.
Begitu sampai di rumah, Kak Yusan jadi orang paling pertama yang memutuskan mandi. Entah kenapa, badanku jadi ikut-ikutan gerah. Anehnya, air di rumah Zahra sama sekali tidak dingin, di sini, segala sesuatunya serba hangat.
Sementara kami mandi dan rusuh di kamar Faza, Ibunya Zahra menyiapkan kentang goreng dan roti bakar, juga 2 cangkir teh hangat yang nikmat. :)
Begitu perut kenyang, satu-satunya hal yang dapat dilakukan kemudian adalah tidur. Bangun-bangun, hari sudah terlanjur siang. Si Zahra sedang berjemur di halaman, melakukan ritualnya setiap pukul 11siang. Aku menemaninya sambil ngegosipin Manny.
Jadi ceritanya si Manny ini kucing yang selalu jadi bulan-bulanan antara emaknya zahra, zahra dan faza, bahkan jg mungkin oleh seluruh keluarga karena kecemenannya yang selalu kalah kalo rebutan makanan sama kucing tetangga. Akhirnya karena mungkin kasihan, ibunya zahra sering ngasih Manny makanan. Bahkan budhe zahra yang tinggal agak jauhan juga kadang2 nitip makanan buat dia. Dari sini aku jadi agak-agak curiga kalo si Manny ini jangan-jangan punya semacam ilmu yang bisa bikin orang melas setiap liat dia. Apalagi di deket pahanya ada semacam pitak besar misterius yang berhasil memicu timbulnya bermacam bentuk praduga. Tapi yah, karena si Manny-nya juga nggak bisa jelasin setiap kali ditanya "Men, itu pitak lo kenapa?" akhirnya misteri pitak di paha si Manny tetap jadi misteri.
Sambil nemenin Zahra dan sambil ngegosipin Manny, iseng-iseng aku memperhatikan pohon belimbing yang meneduhi kami. Dulu, di depan rumahku ada pohon belimbing macam begini. Karena bentuknya yang mirip bintang, bagiku, memakan belimbing selalu menyenangkan, kita bisa berpura-pura menggigiti tepian bintang. "Kok belimbingnya nggak ada yang jatoh sih?" tanyaku pada Zahra. Membongkar kebenaran bahwa sebenarnya semenjak tadi aku menunggui belimbing jatuh seperti yang pernah kulakukan di bawah pohon merkisa di depan markas kapala sastra. Akhirun, kuputuskan untuk memanjat, dan itu malah membuat mpok warung depan rumah Zahra berteriak.
"Aduh neenggg jangan manjat-manjat"
Aku cengengesan. Menjawab enggak apa-apa sambil gelantungan di pijakan pertama.
"Udah.. udah, ini suruh si om aja. Om, tolong Om, panjatin Om. Turun.. turuuunn.. udah turun ajaa"
Aku turun sambil kegirangan. Menatap Mpok penjaga warung ini, dengan geli, si Mama Davi. Senang. Nekat memanjat ternyata membuatku menemukan rumah yang lain. Namanya perhatian.
Si Om, masuk pekarangan Zahra sembari membawa plastik hitam, memanjat dengan gampang dan membawa turun banyak belimbing warna keemasan. "Bagi dua, Om," seru Zahra begitu melihat belimbing yang tumpah sampai keluar plastik. Si Om berkeras menolak, begitu juga Davi yang tiba-tiba datang merengek pada ibunya minta makan. Yasudahlah, "Kita rujak aja, Ra." kataku akhirnya.
Di dalam rumah kami mencuci potong belimbing2 lalu membuat bumbu rujak dari gula merah dan kacang mede. Enak!
Siang-siang panas terik, akhirnya si Faza pulang abis dari liputan untuk tugas sekolahnya. Maka, mulai sibuk lah kami menyusun-nyusun rencana main. Tapi ternyata Faza yang waktu itu pulang bareng Jule aka Julia ada agenda latihan saman di sekolahnya: SMA 24! Jadilah dengan naluri kepo yang tak terbendung, aku pasang muka melas minta diajak. Dan kami pun berangkat.
Dari rumah Zahra yang berada deket banget dari lampu merah Slipi, kami naik angkot 109 (kalo nggak salah) dan turun di sebuah pasar. Dari situ kami jalan kaki sekitar 7menitan untuk akhirnya sampai di sekolah Faza yang warna temboknya dicat ijo ijo meriah. Aktifitas yang kami lakukan di sana antara lain, kalo nggak ngegosipin Faza yang ternyata galak banget ke adek kelasnya, ikut2an nyanyi saman, poto-poto, adu panco, ngerusuhin kantin sekolah, mesen emi, ngesinisin bahan stereoform wadah mi rebus yang nggak ramah lingkungan, maksa minta diajarin gerakan sama jule, sampe kenalan sama angel, anak kecil yang suka banget nonton orang latihan saman dan kayaknya agak-agak terobsesi bisa nari saman. Tenang ya ngel, nanti kapan-kapan kakak cantik ajarin lagi gerakan saman *ditimpuk rapa-i ramai-ramai
latihan anak kelas 1 sama kelas 2
faza galak |
FYI, sebenarnya tarian yang sering disebut-sebut orang sebagai Saman bukanlah Saman yang sebenarnya. Tari Saman sesungguhnya memakai bahasa yang berbeda yaitu bahasa Gayo, dan biasanya tidak pakai alat musik. Musik yang dihasilkan berasal dari gerakan tangan yang bener-bener ritmis dan luar biasa cepat. Cuma sayangnya, masyarakat lebih familiar pada tarian Saman yang ditarikan oleh sekumpulan perempuan yang mana sebenarnya itu bagian dari tarian Ratoh Deuk atau Rampoe. Sedangkan Saman yang pada November 2010 lalu ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia tidak benda ya tari Saman Gayo ini.
Saman |
Baiklah, sekian soal saman-nya. Begitu selesai latihan, tadinya kami (aku+kak yusan+zahra) udah sepakat langsung pulang, tapi karena Faza agak-agak ngotot minta ke Sency, akhirnya bergerak lah kami kesana hanya untuk makan pancake. Untungnya, waktu kami ke sana sedang jam coffee time, jadilah kami dapat paket 35ribu, single pancake or waffle on variant+hotdrink all item. =9
faza cantik :)
Tiba-tiba udah maghrib waktu akhirnya pancake dan waffle di depan mata udah habis semua. Ibunya Zahra ternyata udah rame nge-bbm-in Faza supaya cepat sampai rumah. Langit udah gelap dan besok pagi-pagi kami mesti berangkat ke Tidung! Destinasi yang menjadikan perjalanan ini ada. Maka, begitu Zahra Aulianissa Agoes dan Wildah Fazatin Agoes ini selesai shalat, kami pun bergerak pulang.
Bus yang kami naiki penuh sesak. Ada seorang ibu muda cantik yang lagi hamil naik dan duduk di kursi sebelah kiriku, sementara di sebelah kananku ada mbak-mbak yang sekilas mirip Sanah. Teringat orang-orang yang tidak kukabarkan bahwa aku sedang di Jakarta agak-agak membuatku merasa bersalah. Yang kukabarkan cuma Kak Adhi dan itu pun enggak sempat ketemu. Aku mengubur perasaan bersalah sambil menunggu lampu merah slipi menyala. Kami berempat menyebrang. Berjalan pulang.
n.b: ternyata setelah diklarifikasi, nama Manny itu sebenernya Mengi dan nama panjang Faza bukan Wildah Fazatin melainkan Wildah Faizatin Agoes, sementara nomor angkot yang kami gunakan bukan 109 tapi 009. (clarified by Zahra in her room, Selasa 03/04/2012 22:10)
Mellyyyyyy.... kangennnnnnnnnnn, apa kabar? Ih, Melly dah besar. Gaya ceritanya udah lain hehehehe
ReplyDeleteMbak tertipu sama judulnya, lah mbok jangan Trip Tidung Jakarta, lah wong ini cerita dari kedatangan ke Jakarta, di rumah temen terus di sekolah hehehe
mana Tidungnyah? padahal dah ngarep ada foto2 di Tidung :P
wehehe.. baik mbak. Mbak anaz apakabar?
ReplyDeletekan ada titik dua nya mbak. Trip Tidung[titik dua]Jakarta. Ini cerita berseri mbak. hohohhh.. foto2 tidung di postingan selanjutnya. :D