Saat ini lebaran dan saya sedang terdampar di salah satu peron stasiun
pasar senen. Kereta yang membawa saya ke kota ini telah hilang sejak satu jam lalu. Meninggalkan saya duduk di lantai, menyelonjorkan kaki sembari menontoni
orang-orang yang baru kembali dari shalat idul fitri. Di sebelah saya sebuah
carrier 45 liter berdiri pongah, menemani saya yang sama sekali tidak rindu
rumah.
Mungkin saya memang sudah jadi sebegitu durhaka karena satu-satunya
perasaan yang tersisa di hati saya adalah gembira. Cenderung excited karena –entah ini bisa disebut- cita-cita
melewati lebaran dengan cara tidak biasa yang saya idam-idamkan akhirnya
tercapai juga.
Iya, suatu kali saya memang pernah bermimpi untuk melewatkan waktu
lebaran di negeri yang jauh. Sendirian. Hanya untuk tahu apakah saat itu saya
akan kesepian dan rindu ingin pulang. Apa iya saya akan rindu menyantap lontong
medan dan opor ayam bersama-sama keluarga besar di kampung halaman. Merindukan
sesi shalat bersama yang juga akan menjadi ajang reuni tak terencana dengan
teman-teman semasa kecil. Tapi kenyataannya saya sama sekali tidak rindu rumah.
Sama sekali tidak ingin pulang.
Kadang-kadang saya bertanya-tanya juga sudah sejahat apakah rumah
kepada saya, sampai-sampai saya lebih memilih luntang-luntung di rumah orang
lain pada hari lebaran begini ketimbang pulang dan berkumpul dengan keluarga
sendiri. Pada titik saat sebagian besar umat manusia di negeri ini
berbondong-bondong pulang ke rumah mereka, ke kampung halaman, ke akar dari
mana mereka berasal. Tapi saya malah
lari dari rumah. Setengah mati menghindari rumah. Mengabaikan pilihan pulang
yang Papa tawarkan dan malah memilih menghabiskan lebaran di rumah sahabat
sekaligus teman satu kos saya di perantauan.
Bahkan kalaupun sahabat saya itu tidak menawarkan tinggal di rumahnya,
saya sudah akan menggelandang menjelajahi Bali. Kemana pun asalkan tidak
pulang.
Saya tahu bahwa hubungan macam apapun bertahan karena memaafkan. Saya juga
enggak paham apa ini berarti saya
sebegitu pendendam. Yang saya tahu, seperti halnya semua orang di muka bumi
ini, saya cuma ingin pulang ke tempat saya bisa merasa nyaman. Ke tempat saya
bisa merasa aman.
Karena bukankah sebenarnya itu lah yang disebut sebagai rumah? Tempat aman
dimana kamu bisa merasa nyaman, terlindungi dan tidak takut pada apapun. Tempat
dimana kamu tidak akan pernah merasa diadili dan bisa menjadi diri
sendiri.
Masalahnya, rumah tempat saya pulang setiap kali lebaran bukanlah
tempat yang bisa membuat saya merasa seperti itu. Meskipun saya tahu bahwa
sejatinya tidak pernah ada rumah yang sempurna. Kadang-kadang atapnya bocor,
pintunya rusak dan nyamuknya banyak. Begitu juga dengan keluarga,
tidak ada keluarga yang tanpa cela. Saya tahu, saya paham. Saya cuma butuh
waktu.
Bodohnya, justru ketika traveling lah saya malah menemukan perasaan nyaman yang tidak saya temukan di rumah. Sendirian di tempat terasing mungkin tidak membuat saya merasa benar-benar aman, tapi setidaknya mampu membuat saya merasa tenang menjadi diri sendiri. Membuat saya tidak perlu takut diadili.
Bodohnya, justru ketika traveling lah saya malah menemukan perasaan nyaman yang tidak saya temukan di rumah. Sendirian di tempat terasing mungkin tidak membuat saya merasa benar-benar aman, tapi setidaknya mampu membuat saya merasa tenang menjadi diri sendiri. Membuat saya tidak perlu takut diadili.
Saya ingat masa-masa sekolah dulu, saya sering ingin lari dari rumah.
Tetapi nyali saya saat itu masih terlalu kecut. Atau mungkin bisa juga berarti
hati saya saat itu masih belum sesempit sekarang. Masih belum sepicik sekarang.
Hati saya waktu itu masih bisa dengan mudah memaafkan. Karena memang dengan
cara seperti itulah sebuah keluarga dapat bertahan; MEMAAFKAN.
Atau bisa jadi, ini malah apa yang disebut sebagai akumulasi ledakan
dari apa yang telah terlalu lama dipendam tetapi tidak hilang. Seperti kata
pepatah yang mengatakan bahwa sampah yang disimpan pasti menebarkan bau, begitu
juga kebusukan yang dipelihara pasti akan menyebar dan menjangkiti bagian sehat
lainnya.
Maka mungkin itu lah yang terjadi pada hati saya.
“Mama malu, kamu nggak tahu apa yang orang-orang bilang tentang kamu,”
“Malu kenapa? Memangnya saya bikin apa?”
“Tapi orang-orang bicara buruk,”
“Terus saya mesti apa. Mama tahu saya nggak salah, ”
“Mama tahu, Mama percaya, tapi orang-orang...”
“Mama seharusnya membela saya kalau memang Mama tahu dan percaya,”
“Kamu nggak salah. Masalahnya adalah apa yang orang-orang pikirkan dan
hal-hal buruk yang mereka bicarakan tentang kamu,”
“Terus saya mesti apa? Saya nggak bisa melakukan apapun kalau
orang-orang memang mau berpikiran buruk. Saya nggak bisa memaksa orang-orang
untuk tidak bicara buruk. Bahkan meskipun orang-orang itu keluarga kita
sendiri,”
“........” Mama diam. Mungkinkah kata-kata keluarga kita sendiri yang
saya semburkan dari seberang telepon turut memberi efek lesatan pedang seperti
yang diberinya pada hati saya. Atau Mama hanya sekedar kehabisan kata-kata.
“Ma, bahkan meskipun darah yang mengaliri tubuh saya masih satu akar
dengan mereka, Mama tahu saya tidak punya hak apa pun atas pikiran dan lidah
mereka. Tapi saya tahu saya punya hak atas pikiran dan kepercayaan Mama. Dan karena
memang saya cuma punya itu,”
Stasiun Pasar Senen mulai sepi perlahan-lahan sementara saya diam-diam menekan dada yang berkarat. Orang-orang berpakaian serba putih yang berjalan ramai dan bergembira di sisi rel kereta tadi telah kembali pulang ke rumahnya. Sementara saya tertinggal di sudut stasiun, masih mengutuki rumah yang mungkin siapa tahu merupakan bentuk lain dari hasrat ingin pulang.
Saya tidak tahu pasti, tapi yang jelas, memangnya saya bisa apa, kalau ternyata rumah lah yang malah terlalu sering
memuntahkan komentar-komentar melelehkan kuping. Membuat saya merasa dikhianati
oleh kental darah yang mengalir di antara kami. Membuat saya merasa
satu-satunya kepercayaan yang saya miliki hilang tertelan oleh desas-desus yang hingar bingar.
Saya cuma tahu saya kepingin lari karena kenyataan saya memiliki keluarga ternyata malah membuat
saya menjadi lebih kesepian dibanding sendirian. Jadi saya menolak pulang. Meskipun dengan begitu komentar-komentar
akan menjadi semakin bising dan liar. Saya cuma butuh waktu agar hati saya
sembuh dahulu karena saya juga tidak ingin terus menerus lari. Karena bagaimana pun
juga saya cuma punya satu tempat kembali.
Maka seorang teman terkasih mungkin akan
bosan mengingatkan saya pulang suatu saat nanti. Pesan-pesan singkatnya yang hanya berisi sepatah kata pulang itu mungkin akan berhenti entah karena bosan atau malah kelelahan. Meski tidak pernah saya balas, tapi diam-diam saya selalu punya jawabannya.
Saya pasti pulang kok, tapi
nanti.
No comments:
Post a Comment
Hai hai terimakasih udah mampir dan baca sampai akhir. Silahkan tinggalkan komentar biar aku bisa mampir ke blog kalian juga.
Cheers :D