Aku menghitung deretan anak tangga
yang menurun curam ini satu-satu. Sudah sampai di hitungan seratus tiga puluh,
sudah hampir menyentuh dasar. Kak adhi masih di puncak, menatap ragu-ragu pada
anak tangga - anak tangga curam berkemiringan 60 derajat. Berdiri tegak menghalangi
terang matahari tepat di depan lubang pintu masuk lobang Jepang. Aku sudah di
dasar.
“Kak Adhi, nggak masuk?!” seruku
padanya dengan berteriak, berharap suaraku sampai ke atas. Kak Nadia dan Bang
Hilmy kontan langsung mendongak. Suara kalengku yang eksotis sukses mengganggu
kekhusyukan mereka menghitung anak-anak tangga.
“%$#)(@#!(*)^&” entah apa yang
dikatakan Kak Adhi, jarak yang panjang membuat sahutannya sampai telingaku
tinggal potongan-potongan kata yang tidak punya arti. Tapi kemudian, kulihat
Bang Hilmy kembali naik ke atas, menuju Kak Adhi. Mereka bercakap-cakap, dari
bawah sini, mereka kelihatan seperti dua siswa SMA yang sedang melakukan
transaksi narkoba. Wajah berumur mereka tidak kelihatan, tubuh kurus dibalut
kaos dan jins mereka terlihat seperti siluet seragam sekolah di dalam gelap.
Aku dan Kak Nadia saling tatap, kepalaku
bergerak mengirim pertanyaan, aku tahu Kak Nadia paham, bahunya terangkat
sebagai jawaban. Tak lama, Kak Nadia yang saat itu sudah sampai di tengah
akhirnya memutuskan naik ke atas lagi. Menyusul Bang Hilmy.
Jadi, di sinilah aku sendiri, 40
meter di bawah tanah dan berjarak 64 meter dari mereka. Gamang, antara ikut
menyusul juga atau diam menunggu di bawah. Aku penasaran juga seperti Kak
Nadia, tapi 132 anak tangga?
“&^&%(*(($%#?” suara Kak
Nadia samar-samar kedengaran, tapi intonasi dan kalimatnya sudah dihapal oleh
kepalaku. “Ada apa, mas?” itu pasti pertanyaannya di atas. Lalu Bang Hil yang
menjawab, dari bawah sini memang cuma kelihatan siluet, cahaya matahari di
belakang mereka bikin silau, tapi badan dan kepala Bang Hilmy bergerak ke arah
Kak Nadia, itu dia tandanya. 19 tahun tinggal bersama, membuatku tanpa sengaja
mempelajari tabiat mereka.
Lama mereka bercakap-cakap,
kelihatan seperti setengah berdebat. Sampai kemudian intonasi Kak Nadia tiba
pada warna yang kutandai “waspada”. Aku tahu sesuatu sedang bergerak panas di
atas. Sejak kecil kami termasuk jarang bertengkar, maksutku bertengkar yang
serius, kalau saling meledek siapa paling malas mandi dan siapa paling tukang
tidur, itu sih bercanda. Tapi kadang-kadang kami bertengkar serius juga, intensitasnya
sedikit di atas rata-rata untuk Bang Hilmy dan Kak Nadia. Aku dan Kak Adhi
menyebutnya bawaan lahir. Sejauh yang bisa kuingat, aku belum pernah melihat
yang lain bertengkar. Kak Adhi termasuk tipe yang menghindari pertengkaran,
jenis apa pun, termasuk juga meledek, mungkin menurutnya meledek itu memicu
pertengkaran. Sementara aku, kadang-kadang bertengkar juga dengan Bang Hil,
cuma 1 kali, dan itu lebih cocok disebut perang dingin dibanding bertengkar.
“Tapi si Melyn udah di bawah, Mas.
Mas ndak kasihan?” aku tiba di atas tepat ketika namaku disebut-sebut. Hawa
panas perdebatan mereka begitu mengganggu ketika bercampur dengan hawa dingin
di dasar lubang, pada akhirnya membuatku lupa pada anak tangga-anak tangga yang berjumlah 132.
Bang Hilmy tersenyum senang, “Itu
si Melyn udah di atas Nad.” Matanya tepat terarah pada belakang punggung Kak
Nadia: kepadaku!
Kak Nadia membalik badan, bersamaan
dengan firasat tidak enak yang dengan refleks membuatku mundur ke belakang,
tanganku mencengkram pegangan besi dingin yang membelah jalur masuk ini menjadi
2. “Kamu ngapain naik ke atas, mel?”
Oke, ini namanya peluru nyasar. Aku
diam saja, merespon pertanyaan Kak Nadia yang dilontarkan sedikit melebihi
kadar intonasi bertanya. Kalau kubilang “ini gara-gara kalian berantem!”
sama saja cari mati.
“Perasaan Adhi ndak enak, Nad.” Intonasi
Bang Hilmy melembut, entah karena lelah berdebat atau karena kasihan melihat
aku yang tak berdosa terikut masuk ke dalam pertengkaran mereka.
“Iya, tapi menurutku itu ndak
rasional, Mas. Lagipula, kita kan udah bayar untuk tiket.”
“Ya ndak papa, kita kan memang
kolektor tiket. Anggap aja udah untung nambah 1 tiket di buku album.”
Ini yang kusebut bawaan lahir. Setahuku,
yang awalnya menolak masuk tadi Kak Adhi, kenapa sekarang yang jadi bertengkar
malah Kak Nadia dan Bang Hilmy? Kalian heran? Ibu-Bapak kami saja tidak paham. Aku
melirik Kak Adhi dengan pertanyaan “kenapa jadi mereka yang berantem, kak?” tertato
di wajah, Kak Adhi menjawab dengan gelengan kepala. Tiba-tiba Kak Adhi tersenyum jahil, menulariku
dengan rasa lucu yang cuma kami berdua yang tahu “namanya juga bawaan lahir!
Iya, ini pasti bawaan lahir.” Dalam diam kami sepakat untuk membiarkan, ini
masih panas-panasnya, turun tangan menyelesaikan pertengkaran mereka bahayanya
sama dengan berusaha menghentikan tawuran di jalan raya.
“Kamu inget kan Nad waktu kita di
solo kemarin, aku larang kamu sama Melyn keluar malam itu. Aku udah firasat,
Nad. Tapi faktanya? Soal dampaknya juga kalian sendiri sudah tahu seperti apa.
Ingat, kita ke sini bukan ingin cari masalah.”
“Oh jadi maksud Mas Hilmy, kejadian
di solo kemarin, aku yang sengaja cari-cari masalah?”
“Bukan gitu, Nad. Tapi..”
“Wis, wis, yo mbok sesama saudara
itu akur toh Nad, Hil. Kelamaan nih mereka berantemnya, Mel. Udah, kita tinggal
aja!” kata Kak Adhi tiba-tiba memotong pertengkaran mereka.
Aku yang saat itu sudah berdiri di
sebelah Kak Adhi terperanjat. Khawatir akan terkena peluru nyasar lagi
membuatku memilih menyingkir diam-diam lewat jalur yang sebenarnya untuk
naik, “bukannya tadi katanya perasaan
Kak Adhi nggak enak?”
“Tadinya. Tapi nonton mereka
berantem gini, kayaknya yang terburuk udah lewat,” Kak Adhi menyahut ringan,
melangkah menuruni anak tangga-anak tangga curam, meninggalkan Kak Nadia, bang
Hilmy dan aku yang bengong serempak di belakang.
Kalau kubilang dalam hal bertengkar
kami termasuk jarang, Kak Nadia dan Bang Hilmy sudah tentu pengecualian,
bertengkar bagi mereka nyaris seintens bernafas. Mau bagaimana lagi? Tipe keras
kepala macam Kak Nadia dipertemukan dengan Bang Hilmy yang agak suka mengatur,
hasilnya apalagi kalau bukan adu mulut. Tapi seperti antasida yang dapat
menetralkan asam, untungnya kami berempat punya Kak Adhi yang selalu
mengademkan. Yap! Dengan caranya!
“Sial, Mas! Memangnya kita topeng monyet,
berantem malah ditontonin,” Kak Nadia berbisik pada laki-laki yang senang
mengaku tampan yang juga sedang berjalan di sebelahnya. Siapa lagi kalau bukan
orang yang baru saja menjadi lawan adu mulutnya. “Iya, Nad. Padahal juga kan
kita berantem gara-gara siapa. Pokoknya awas aja dia!” balas Bang Hilmy penuh
dendam.
Aku mengikuti mereka sambil
mengikik, apa tadi kubilang? Kak Adhi itu antasida, bahkan lebih sakti, kalau
antasida cuma bisa mengobati, Kak Adhi punya cara sendiri yang bisa membuat
keadaan 180 derajat berubah. Lihat saja, Bang Hilmy dan Kak Nadia yang tadinya
berseteru, sekarang bersekutu.
“Makanya Bang, jadi orang harus
cinta damai,” teriakku sambil berlari mendahului mereka. Ini salah satu tindakan
cari mati, tapi ini adalah tindakan cari mati yang tetap akan kulakukan,
kesenangannya setimpal.
“Hoi, tukang adu domba,
tungguuuuuu!” Bang Hilmy berteriak, kubayangkan ia bersiap-siap mengejar di
belakang. Tapi terlambat, aku di depannya sudah meraih pegangan besi dingin yang
membagi dua tangga, meluncur turun di atasnya. Hemat tenaga.
“Hoi, jangan rusuh! Bayar juga cuma
5 ribu!” tegur Kak Nadia dari belakang. Aku tersedak mendengar kata-katanya.
Metode dan substansi saling berkhianat. Siapa pun pasti setuju bahwa volume
yang dipakai Kak Nadia lebih dari cukup untuk dikategorikan sebagai “kerusuhan”.
Tapi terlepas dari itu yang dikatakan Kak Nadia memang ada benarnya. Kami di
sini, di sebuah tempat wisata bersejarah milik pemerintah, bertengkar, berteriak,
berseluncur di pegangan tangga serta saling mengejar seperti di tempat milik
sendiri, dan kami tidak membayar lebih. Teriakan dan tawa kami bergema
dimana-mana, untungnya selain kami berempat, belum ada pengunjung lain di
Lubang Jepang.
Udara di sini dingin, tapi
berbaikan setelah bertengkar ternyata menghangatkan.
***
Aku meraba dinding-dinding dingin
yang sudah di semen kasar sembari mendengarkan cerita Kak Nadia tentang sejarah
Lobang Jepang. Di antara kami berempat, memang Kak Nadia yang paling suka
sejarah, Bang Hilmy saja kalah. Spesifikasi Kak Nadia lebih pada
bangunan-bangunan tua, sementara Bang Hilmy, mungkin pada tokoh pergerakan dan
peristiwa sejarah. Itu lah kenapa dalam setiap perjalanan kami, kunjungan ke
museum selalu masuk ittinerary. Ini nilai plus bagiku dan Kak
Adhi, dengan begitu kami tidak perlu terlalu sering menyewa guide hanya untuk
menceritakan tentang sejarah tempat tertentu.
“Kamu tau ndak, Mel, dulunya lobang
Jepang ini cuma selebar 20 sentimeter. Seenggaknya itu yang kelihatan pada
gambar-gambar di buku-buku sejarah. Beda banget kan sama diameter lobang jepang
sekarang yang lebarnya hampir sekitar 4 meter. Itu memang sengaja disesuaikan
sama postur tubuh tentara Jepang yang ramping-ramping.”
“Wah, berarti dulu kamu ndak bisa
masuk sini, Mel.” Tiba-tiba suara Bang Hilmy menyambar dari belakang, menjeda
penjelasan Kak Nadia dengan sempurna. Aku tahu betul, pasti kata ramping itu
pemicunya. Kak Nadia dan Kak Adhi di belakangku tertawa.
“Eh, tapi kalau 20 sentimeter, kita
berempat juga nggak bisa masuk, Hil. Iya kan, Nad?” suara Kak Adhi tertangkap
telingaku yang berjalan paling depan. Betul kan apa yang kubilang, Kak Adhi
memang antasida.
“Celah ini buat apa Kak?” tanyaku
heran sambil menunjuk salah satu celah di dinding.
“Itu echo, mel.”
“Oh, ini echo? Tak kira
tadi cuma ornamen buat variasi aja, biar enggak terlalu polos,” Kak Adhi
menyahut, suaranya kedengaran takjub.
Aku membalik badan dengan dahi
berkerut, “celah ini namanya Eko?” menunjuk celah yang entah bagaimana
ceritanya menjadi bahan gosip kami berempat. “Lucu ya, kayak nama orang Jawa,
padahal di Sumatera.”
Tawa Kak Nadia, Bang Hilmy dan Kak
Adhi pecah serentak. “Echo itu peredam suara, adikkuuu.... bukan
nama," jelas Kak Adhi dengan gemas. "Kalau eko yang kamu sebut
itu sih, tetangga kita yang tentara waktu di Aceh dulu. Coba deh lihat, celah
itu ada setiap satu meternya, untuk meredam suara.”
“Iya, Mel. Echo itu
peredam suara, bukannya nama. Tapi memang iya sih, para pekerja untuk
pembuatan bunker ini dulunya memang sengaja dikirim dari luar
Sumatera, salah satunya Jawa.”
“Supaya kalau ada Romusha yang
berhasil melarikan diri, dia ndak bisa membocorkan rahasia keberadaan bunker ke
penduduk setempat karena kesulitan berkomunikasi, kan Nad? Jadi Mel, kalau kamu
mau ngasih nama celah itu Eko juga ndak papa. Siapa tahu orang yang buat celah
itu dulu orang jawa dan namanya Eko,” sambar Bang Hilmy sambil mesem-mesem
cengengesan.
“Iya, Mas. Tumben, Mas Hil pinter.
Bunker ini kan dulu dibuat dari tahun 1942 sampai 1945 sebagai pusat segala
kegiatan pertahanan selama perang Dunia ke II dan perang Asia Timur Raya. Jadi,
lorong-lorong ini dulunya merupakan ruangan-ruangan yang dipakai untuk berbagai
macam keperluan, misalnya untuk tempat simpan amunisi, tempat penyiksaan,
tempat pengintaian, tempat penyergapan, dapur, penjara, juga bilik serdadu
militer tentara Jepang. Dan celah-celah di setiap satu meter ini gunanya untuk
meredam suara romusha atau tahanan yang disiksa supaya ndak menganggu pekerjaan
Romusha lain maupun para tentara Jepang yang ada di sini. Ndak heran, tahun
1946 waktu Lobang Jepang ini akhirnya ditemukan oleh warga sekitar, ada banyak
tulang belulang manusia yang berserakan di sepanjang lorong. Serem
ya?” Kak Nadia semangat sekali bercerita tentang Lobang Jepang kepada Kak
Adhi dan Bang Hilmy yang juga begitu seru mendengarkan sampai-sampai tidak ada
yang sadar pada aku yang tertinggal di belakang.
Aku masih di tempatku berdiri tadi,
meraba celah kecil yang kata Bang Hilmy boleh-boleh saja kunamai Eko, setengah
membayangkan jari-jariku dapat menangkap jerit-jerit penyiksaan yang harus
diserap Eko berulang-ulang agar dapat teredam. Lalu bertahun kemudian, ketika bunker ini
akhirnya ditemukan, ada tulang belulang Eko pembuatnya di atas tanah yang
kupijak, berserak di bawah celah yang ia buat.
****
Kak Adhi dan yang lainnya sudah
tidak ada ketika akhirnya lamunanku terhenti akibat bulu kuduk yang bergidik
ngeri. Dengan agak panik, mataku segera mencari-cari keberadaan mereka. Lubang
Jepang ini sebenarnya sudah cukup terang dengan lampu-lampu neon yang dipasang
di sepanjang sisi kiri dan kanan, namun tetap saja tidak mengurangi efek mencekam.
Aku menyusuri lorong dingin ini dengan langkah-langkah lebar dan tergesa,
setidaknya selebar mungkin yang kubisa.
“Mereka tadi belok kiri,” sebuah
suara membuat langkah-langkah lebarku terhenti. Suaranya seperti tersenyum, aku
menoleh, seorang anak laki-laki kurus dengan kaus warna cokelat dan celana
beberapa senti melewati lutut berdiri 3 meter di belakangku.
“Oh,” aku menemukan mulutku
mendesah begitu saja, entah karena informasi yang diberikannya atau
keterkejutan akibat keberadaannya. Ternyata yang ada di sini bukan cuma aku dan
saudara-saudaraku saja.
“Tadinya itu bilik militer,”
katanya tiba-tiba, seperti sengaja mencegahku terperangah lebih lama. Aku
menatapnya dengan bingung. Apanya yang bilik militer? Seperti paham, kepalanya
bergerak menunjuk sebuah lubang yang berada tepat di sebelah kiriku. Badanku
pasti punya sistem refleks yang sangat baik karena tiba-tiba saja seluruh tubuhku
sudah menoleh ke kiri demi melihat lubang yang disebutnya bilik militer,
kemudian tersentak membaca tulisan di atasnya yang bercahaya, “mini teater?”
“Konyol ya,” katanya sambil
tersenyum aneh, aku mereka-reka, ada sedikit nada bertanya dalam suaranya, tapi
caranya menyatakan itu jelas-jelas bukan pertanyaan, aku memutuskan lebih cocok
disebut meminta persetujuan. “Di tempat macam ini ada mini teater,” lanjutnya
dengan geli.
“Mini teater buat nonton film apa
dulu?” sahutku sambil melangkah masuk, “kalau buat nonton film-film yang ada di
bioskop mah memang aneh, tapi kalau film-film dokumenter tentang sejarah penjajahan
Jepang di tanah Minang, ya kan nggak papa. Bagus malah. Aku pernah tuh, waktu
ke dieng nonton film dokumenter yang diputar di semacam mini teater kayak yang
mau dibuat ini, ” aku mengedarkan pandangan dalam ruang bekas bilik militer
yang lumayan luas ini: gelap, kosong, dingin. Lampu neon yang disediakan memang
cuma dipasang di lorong utama, dan meskipun jumlahnya banyak namun tetap tidak
bisa sampai menerangi ruang-ruang yang ada di sisi kanan dan kiri lorong utama,
anak laki-laki itu ada di situ, tepat di bawah cahaya lampu neon yang menerangi
sepanjang lorong.
“Filmnya tentang sejarah
terbentuknya dataran tinggi dieng, kawah-kawah beracun di sana, kebudayaan,
kesenian, mitos,” sebutku dengan lambat satu per satu “dan menurut aku itu
bermanfaat banget,” lanjutku kemudian dengan sungguh-sungguh sambil menatap ke
arahnya, menunggunya bereaksi.
Dia melangkah masuk, kepalanya
berputar dan mengarah ke atas, memperhatikan langit-langit ruang yang karena
gelap jadi kelihatan tanpa batas. “Mungkin, kalau kamu punya kenangan berharga
di tempat ini, kamu nggak akan serela itu dan dengan gampangnya setuju tempat
ini dirubah jadi sesuatu yang berlainan jauh,” kepalanya beralih ke arahku, “membiarkan
fungsinya berubah, sama aja dengan membiarkan perasaan kamu mengenang enggak
lagi sama,” saat ia mengatakan itu, bisa kurasakan tatapannya yang tajam sedang
merajangku.
Aku baru saja akan membuka mulut
ketika suara yang sudah bertahun-tahun kukenal memecah keheningan.
“Melyn?”
****
Ternyata namanya Eko, bisa kulihat
6 biji bola mata milik ketiga kakakku hampir copot ketika anak laki-laki itu
memperkenalkan diri. Dia mengatakan ‘cih!’ ketika kutanyakan apa ia guide Lobang
Jepang atau bukan dan memasang wajah aneh sewaktu Kak Nadia menyimpulkan bahwa
berarti ia pengunjung juga sama seperti kami. Faktanya adalah, Eko sama sekali
bukan pengunjung. Ia tidak punya karcis!
Aku menatap wajah Kak Adhi yang
kelihatan aneh. Mulut mengatup dan kening berkerut itu. Kutebak, dalam diam ia
pasti mempertanyakan cara Eko masuk ke Lubang Jepang. Kak Adhi memang suka
mempertanyakan hal-hal yang aneh, kalau tidak bisa dibilang tidak penting.
Awalnya kita memang tidak akan
menyangka sampai ia mencetuskan sendiri kebingungannya, baru kemudian
terpingkal-pingkal mendengar dugaan-dugaannya yang didengungkan dengan cara
berfilosofi yang lucu sekali. Jawaban-jawaban atas kebingungannya itu, memang
tidak perlu serius-serius ditanggapi, itu memang untuk Kak Adhi sendiri.
“Ini sekarang kita kemana?” tanyaku
ketika akhirnya tiba di ujung lorong yang merupakan pertigaan. Aku melongokkan
kepala ke kiri dan ke kanan, mengira-ngira. Lorong sebelah kiri tampaknya tidak
begitu panjang. Dari tempat kami berdiri sekarang, aku bisa melihat cahaya di
ujungnya. Cahaya itu masuk dari sebuah lubang yang dipasangi jeruji.
“Tadi kami udah ke sana, Mel. Tapi
kalau kamu kepingin ke sana, ya ndak papa. Gimana, mas?” Kak Nadia meminta
persetujuan Kak Adhi dan Bang Hilmy.
“Ya terserah, kita juga ndak buru-buru
toh Nad?”
“Kamu maunya gimana, Mel?”
Aku terdiam memikirkan pertanyaan
Kak Adhi, menimbang-nimbang, “memang di sana ada apa?” tanyaku.
“Ruang sidang.” Suara yang asing
tiba-tiba terdengar. Pelan, seperti mengandung ketakutan, dan jauh. Suara Eko!
Anak itu berada di sebelahku, pucat dan membeku. Tadinya kupikir itu jawaban
dari pertanyaan, tapi tubuhnya yang menegang lebih mirip seseorang yang sedang
dipaksa mengenang sesuatu yang tidak menyenangkan. Aku dan kakak-kakakku saling
tatap, dalam kepala kami berempat, pertanyaan yang sama terlontar tanpa dapat
dicegah, kenapa dia?
***
“Dulu dia melarikan diri lewat
sini.”
Untuk yang kedua kali, bocah yang
belum sampai 2 jam kukenal ini bertingkah lagi, padahal belum sampai 10 meter
kami berpindah dari tempat sebelumnya. Tubuhnya lagi-lagi seperti membeku di
tempat. Matanya menatap lekat pada sebuah lubang berdiameter kecil diatas
kepala kami. 10 meter masuk ke lubang itu ada lubang bercahaya yang sama, juga
dengan pagar. Tiba-tiba tanganku disenggol Bang Hilmy, matanya hampir mau
keluar sewaktu memintaku memeriksa tas lewat gerakan dagunya. Aku cepat-cepat
menarik risleting tas samping kecil dari bahan rajutan yang baru tadi kubeli di
kios toko oleh-oleh yang ada di taman panorama. Meraih hape, ada 3 buah pesan
yang menunggu dibuka. Aku mengerutkan kening, 40 meter di bawah tanah begini
seharusnya mustahil mendapatkan sinyal. Kubuka ketiga pesan itu dengan perasaan
aneh. Dari Kak Adhi, Kak Nadia dan Bang Hilmy.
“Ni bocah kenapa
nggak jauh-jauh aja sih? Nyeremin.” Sms Kak Adhi.
“Anak ini aneh
banget, Mel. Kamu nemuin dia tadi dimana?” Yang ini sms Kak Nadia
“Mel, kamu tanggung
jawab! Kamu yang bawa-bawa dia!” Ini sms dari Bang Hilmy.
Hebat! Ketiga kakakku ini diam-diam
sepakat meminta pertanggungjawaban selagi aku terpana dengan bocah misterius
ini. Pada faktanya mereka bertiga memang benar, anak laki-laki ini memang aneh.
Aku memasukkan hape tanpa membalas, menatap mereka dengan bingung dan merasa
bersalah. Eko masih mengarahkan matanya pada lubang yang hanya bisa dilalui
dengan merangkak itu, panjangnya memang cuma sekitar 10 meter, tapi
pandangannya seperti melesat, jauh melewati terang cahaya matahari yang masuk
dari sela-sela jeruji. Entah kenapa aku jadi teringat pada kata-kata
terakhirnya tadi, apa katanya? Dia? Dulu dia melarikan diri lewat sini. Dia
siapa?
Tiba-tiba anak itu tersadar.
Tangannya yang mengepal sedikit terangkat, pertengahan telunjuknya menyentuh
mulut, dibersihkannya tenggorokan dengan suara berat, seperti mengeram. Aku
melihatnya seperti sedang berpikir, lalu mulutnya kelihatan membuka.
Bisa kurasakan aku, Bang Hilmy, Kak
Adhi dan Kak Nadia berdebar-debar menunggu apa yang akan dilakukannya.
***
“Serius deh, kamu
nemu anak itu dimana sih, dek?” Kak Adhi langsung memberondongku dengan
pertanyaan yang bisa kupastikan sudah menggumpal di kepalanya sejak berjam-jam
tadi begitu kaki kami menjejak puncak
tangga teratas jalur keluar Lobang Jepang.
Aku memutar mata dalam nafas yang tersengal, “Nemu-nemu!
Orang waktu kalian ilang dia udah tiba-tiba ada di belakang Melyn,” kataku
sambil mengayunkan langkah, destinasiku jelas, sebuah kursi panjang yang berada
dekat pintu keluar.
“Bukan kami yang ilang, Mel, kamu.”
Suara Kak Nadia tiba-tiba menyambar, senyumnya melebar, geli dengan kata-kataku
tadi yang menurutnya sangat perlu dikoreksi. Di belakangnya, Bang Hilmy
tertawa, “bener, Nad. Kalo soal hilang atau nyasar, serahin ke Melyn aja, dia
kan ahlinya. Minta minum dong, Dhi,” katanya pura-pura memuji padahal
jelas-jelas menghina, lalu mengalihkan kepala ke Kak Adhi di sebelahku. Kak
Adhi melempar botol air minum dengan senyum yang ditahan, botol itu melewatiku
yang sedang mengerucutkan bibir dengan sebal. Disebut ahli sih memang bisa
membanggakan, tapi nggak perlu pake embel-embel nyasar.
“Sebel boleh, tapi ndak lupa haus
kan, Mel? Nih,” Kak Nadia menyodorkan botol air minum yang dibawanya dari
homestay, hasil pagi-pagi sudah merayap ke dapur menjerang air. Aku meneguknya
tanpa sisa.
“Tapi anak itu beneran aneh,
Mel,” kata Kak Nadia saat mengambil kembali botol air minumnya yang sudah
kosong.
“Bener, Nad. Coba deh, kalian
pikir, gimana caranya dia bisa masuk tanpa tiket,” Kak Adhi menambahi,
membenarkan dugaanku atas muka aneh yang dibuatnya sewaktu di Lobang Jepang
tadi. Aku tersenyum menang sambil melirik Kak Nadia yang sedang geleng-geleng
kepala, kalau sedang tidak sebegini lelah, aku tebak tangan Kak Nadia sudah
akan melayang untuk menjitak, dan aku yang berada di sisinya akan berteriak
sambil terbahak, “aneh sih aneh, kak.. tapi bukan soal tiket jugaaa..”
***
“Kakekku.”
Kata yang diucapkan oleh Eko
kemudian adalah Kakekku. Dan apa yang mengalir setelah itu adalah ironi di
dalam lagu.
Umurnya 14 tahun sewaktu ia dan
kedua puluh lima temannya sampai di Pelabuhan Teluk Bayur. 3 hari mereka
terkatung-katung di tengah laut untuk mencapai pulau terbesar keenam di dunia
ini: Sumatera. Orang yang menawarinya menjadi tentara Heiho itu mengatakan
bahwa di sini, ia dan kedua puluh lima
temannya akan disekolahkan, diberi pelatihan untuk menjadi tentara.
10 hari setelah ia dipaksa bekerja
melubangi bukit, ia sadar bahwa dirinya telah ditipu. Tidak ada aktifitas
pelatihan di tempatnya saat itu, yang ada cuma pekerja-pekerja kurus kering
yang menyedihkan. Datang dan hilang setiap harinya, sebagian mati disiksa,
sisanya mati begitu saja. Penyiksaan yang dilakukan oleh para tentara Jepang
itu betul-betul tidak tertahan. Mereka dipaksa menembus bebatuan ngarai untuk
membuat bunker dengan lorong sepanjang 1470 meter dan 21 ruangan ini
hanya berbekal cangkul dan benda tajam. Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat
Bala Tentara Jepang saat itu, Letnan Jenderal Moritake Tanabe yang memimpin
pembangunan bunker ini memang
luar biasa bengisnya. Kebengisannya itulah yang membuat bunker ini bisa
rampung dengan cepat.
“Tidak ada jatah makanan dan harus
bekerja siang-malam, setiap hari selalu ada orang yang mati karena kelelahan
bekerja, yang kelihatan beristirahat akan langsung disiksa, beberapa cukup
beruntung disiksa pada saat itu juga, yang dibawa ke ruangan khusus, bernasip
sama dengan para tahanan Jepang yang dipenjara, berakhir di lubang itu,” Eko
menunjuk sebuah lubang yang ada dalam ruangan yang dulunya merupakan dapur, di
atasnya ada lubang kecil untuk mengintai, di bawahnya adalah lubang tempat
mayat-mayat disimpan.
Kami berlima duduk melingkar di
bawah cahaya lampu, memandang bocah belasan tahun itu dengan wajah ingin tahu.
Terpukau dengan sebuah kisah yang barangkali sudah ribuan kali diceritakan
kakeknya. Sudah ia hapal di luar kepala.
“Lalu apa yang terjadi?” tanya Kak
Nadia, rasa penasarannya terlalu besar untuk diabaikan, tetap saja gagal meski
sudah berusaha ia tahan.
Eko di hadapan kami menyeringai,
“ada seorang perempuan”.
***
Namanya Uni Raihanuun, setidaknya
itulah yang sering ia tangkap ketika anak-anak kecil yang membersamainya
memanggilnya setiap kali mereka mengambil air di hilir sungai sianok. Bunker
ini letaknya tidak diketahui, Raihanuun yang senantiasa mempesona meskipun dari
kejauhan itu, sudah tentu tidak mengetahui bahwa dirinya menjejak kaki terlalu
jauh dari rumah, menjangkau tempat berbahaya. Bahwa dibalik bongkahan raksasa
ngarai yang membelah dua pulau Sumatera dengan patahan semangka ini, terdapat
manusia-manusia yang mampu menyiksa manusia lainnya tanpa belas kasih.
Di bunker ini ada salah satu
lubang pintu yang berada tepat di dekat sungai Sianok, melalui lubang pintu
itulah biasanya ia memperhatikan Raihanuun dalam hela nafas yang ditahan. Bagi
dirinya, Uni Raihaanun bukan hanya pusat tata surya, tapi lebih seperti inti
dari semesta. Memperhatikan gadis itu, meski hanya diam-diam, adalah angin
segar dari kehidupannya yang menyakitkan, sekaligus alasan dia masih bisa
bertahan dan tidak menghabisi nyawanya sendiri. Bahkan meskipun setelah itu
dirinya harus merasakan kebengisan para tentara Jepang apabila ketahuan tidak
bekerja dan menyelinap diam-diam.
Pada malam setelah Ibrahim mati
dibelah, cuma Raihanuun yang ada di kepalanya saat itu. Ia merangkak melewati
lubang, sendirian. Ia tahu, gilirannya akan tiba sewaktu-waktu. Titik ketika
para tentara itu kalap dan apa yang terjadi pada sahabatnya menimpanya juga.
Caranya bisa macam-macam, tapi yang jelas kesemuanya mengerikan. Mati memang
akan membuat penderitaannya berakhir, tapi pikiran tidak akan bertemu Raihanuun
lagi adalah yang tidak mau dipilihnya. Selain itu, kalau pun tetap tinggal,
lama-lama ia tetap akan mati juga, baik karena disiksa atau karena kehabisan
tenaga. Ia ingat kata-kata terakhir Ibrahim yang mengantarkannya ke ajal.
Mereka tidak punya Tuhan. Tidak paham dosa. Orang-orang yang tidak punya Tuhan
akan mampu melakukan apapun, bahkan yang paling hitam sekalipun.
Salah seorang tentara yang tidak
sengaja mendengar itu menerkam Ibrahim, menghabisi nyawanya dengan cara yang
tidak layak dilihat manusia. Tentara itu bertubuh lebih pendek dari Ibrahim, tapi
tentu saja Ibrahim yang belum makan berhari-hari saat itu bukan tandingan.
Tenaga sahabatnya itu sudah habis dihisap oleh dinding-dinding dingin di
sekeliling mereka. Dinding-dinding itu, sekarang, sedang rakus menghisab darah
yang menyiprat dari tubuh temannya. Detik itu dirinya sadar, apa yang dikatakan
Ibrahim memang benar.
Berhari-hari ia melarikan diri.
Memakai pakaian dari kain goni dan tinggal seorang diri. Selama itu ia hanya
memakan daun-daun, dan selama itu pula ia tidak bertemu Raihanuun. Ia tidak
berani masuk ke desa, ia tahu tentara Jepang pasti mencarinya. Selain itu,
beberapa temannya yang kabur seringkali berhasil tertangkap lagi karena ada
penduduk desa yang melaporkan. Eko tidak mau mengambil resiko. Ia tidak mau
kembali ke lorong gelap itu, menjalani hari dengan mengayunkan cangkulnya,
melubangi bukit dengan perut lapar, lalu mati terkapar.
Tapi kemudian, berhari-hari setelah
itu, rindu yang berhari-hari diredamnya memberikan hadiah. Wajah yang selama
ini melayang-layang di kepalanya mewujud di depan mata. Dia bertemu Raihanuun.
Raihanuun-nya. Tetap anggun meskipun dengan tangan yang penuh dengan ranting-ranting
kayu. Saat itu ia seperti ditarik ke masa lalu, atau mungkin memang waktu yang
melipatkan diri ke masa itu, ketika ia sering memandangi Raihanuun-nya dari
jauh. Rimbun dedaunan yang mulai ia hapal rasanya itu menyentuh kulitnya
seperti dinding tanah dingin di Lobang Jepang. Dirinya mengira-ngira apa reaksi
gadis itu kalau ia memutuskan muncul di hadapannya. Kemungkinan besar,
kayu-kayu di tangannya akan berhamburan. Bisa juga reaksinya lain. Mencari air
di sungai, mengumpulkan ranting-ranting kayu di hutan. Laki-laki itu meyakini
bahwa Raihanuun-nya pemberani. Maka pada detik berikutnya, ia sudah menampakkan
diri.
Raihanuun menatap anak laki-laki
yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia tetap tenang, matanya memandang tajam
seperti ingin mengatakan ‘Kau mau apa? Aku tidak takut.’ Tapi bahasa mereka
berbeda, dia menjelaskan kepada Raihanuun sebisanya bahwa dirinya adalah
romusha yang melarikan diri dan meminta gadis itu untuk tidak mengatakan pada
siapa-siapa. Bahwa ia sudah berhari-hari tinggal di hutan dan butuh
pertolongan. Eko tidak tahu apa gadis itu paham, tetapi ketika akhirnya
Raihanuun-nya itu menganggukkan kepala padanya, untuk pertama kalinya, sesuatu
di dalam dadanya membuncah.
Yang tidak Raihanuun tahu, anak
laki-laki yang kelihatan sumringah di hadapannya itu tidak peduli dirinya paham
atau tidak. Ia juga tidak sedang merayakan pertemuan lidahnya dengan nasi
berlauk garam seadanya yang ia hidangkan dan dilahap habis dalam sekejap mata.
Nasi dan garam itu memang mengembalikan cita rasanya sebagai manusia setelah
berhari-hari bertahan hanya dengan memakan daun-daun hutan, tapi bukan itu yang
membuat dadanya buncah. Yang sebenarnya ia rayakan ialah anggukan kepala
Raihanuun tadi. Ke padanya. Untuk dirinya. Bahwa akhirnya setelah begitu lama
hanya melihat, Raihanuun akhirnya melihat dirinya juga, menganggukkan kepala
padanya, untuknya, dan tidak hanya itu, ia juga makan dengan nasi yang
perempuan itu tanak, lalu mencuci piring kaleng yang ia pakai dengan air dari
sungai sianok yang rutin ia ambil. Rutinitas yang mengantarkan Raihanuun pada
dirinya. Malam itu, ia menginap di sana, di tempat Raihanuun tinggal dengan
ketiga adik-adiknya. Biasanya, ia selalu khawatir setiap kali akan pergi tidur.
Ia takut pada ular di sekitar pohon atau binatang buas di semak-semak. Ia tidak
pernah bisa tidur terlalu lelap karena di kepalanya, suara-suara sepatu
tentar-tentara Jepang yang memburunya terus menerus berderap. Tapi sekarang
sudah tidak ada lagi yang perlu ditakutkan, dirinya sudah tidak lagi di hutan,
dan Raihanuun-nya pun sudah ditemukan. Maka malam itu, untuk pertama kalinya,
setelah lama yang sepertinya sudah bertahun-tahun, ia memberanikan diri tidur
dengan tenang. Ia tidur dengan aman.
Tapi ternyata itu jenis ketenangan
yang ada sebelum badai. Esok paginya, Eko dibangunkan oleh suara rusuh dari
luar, dan sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, 3 orang pasukan Jepang
sudah menyerbu masuk. Menangkapnya, memukulnya membabi buta.
Kami berempat menatap tukang cerita
kami dengan terpana. “Mereka tahu,” suara Bang Hilmy seperti keluar begitu
saja. Berbaur dengan udara dingin dari langit-langit. Eko junior mengangguk.
“Raihanuun. Raihanuun
melaporkannya.”
***
Aku menghela nafas sepelan yang
kubisa. Mengusir potongan cerita Eko yang kembali mengisi kepala. Masih tidak
rela. Ini sungguh-sungguh ironi. Tepat seperti yang seringkali dikatakan Kak
Adhi; hidup itu ironi.
Taman panorama ini sepi. Kami
berempat memilih tetap tinggal setelah beranjak sebentar untuk menunaikan
sholat ashar. Kemudian duduk di sebuah kursi panjang yang berada di pinggir
pagar, tepat menghadap ngarai. Masih lelah, kami putuskan menikmati senja. Kata
orang, pemandangan matahari terbenam di taman panorama termasuk salah satu yang
luar biasa.
“Kamu kenapa, tho? Diem aja,” suara
Bang Hilmy membuat Kak Adhi dan Kak Nadia melongokkan kepala. Mungkin Bang Hil
pikir aku diam karena masih sebal. Kugelengkan kepala sebagai jawaban.
“Masih kepikiran yang tadi?” ia
masih memberondongku. Aku mengangguk, “nggak bisa dipercaya, Bang. Raihanuun!”
kataku hampir mau menangis.
“Kenapa Raihanuun?” tanyaku setelah
menarik napas.
“Mungkin dia butuh uang, Mel!” Kak
Nadia menyampaikan analisanya, “kamu dengar sendiri dia cuma tinggal sama
adek-adeknya. Orangtuanya mungkin udah meninggal. Otomatis dia yang harus
menghidupi semuanya. Nyari kayu bakar, ngambil air, belum lagi soal makan.
Hidup untuk dia juga berat.”
“Tapi Kak, Eko itu... ” aku
terdiam, tidak menemukan kata yang tepat untuk menyebutkan perasaan Eko pada
gadis itu. Cinta? Yang aku percaya cinta bukan sesuatu yang bisa muncul pada
pandangan pertama. Tertarik? Suka? Mungkin itu dia, rasa suka dalam kadar yang
tidak biasa sampai-sampai bisa mendorong Eko yang masih berumur belasan,
melarikan diri dari tentara Jepang. “Eko itu suka mati sama Raihanuun,”
lanjutku dengan volume suara yang hanya bisa didengar jelas oleh semut. Tidak
pede sendiri dengan diksi yang kupilih, suka mati? Biasanya orang menyebut
cinta mati, bukan suka mati.
Kak Adhi tertawa, entah
menertawakan apa. “Hidup itu ironi, Mel,” kata-katanya mengambang. “Susah payah
Eko melarikan diri dari tentara Jepang untuk Raihanuun, tapi malah gadis
pujaannya itu yang mendatangkan tentara Jepang ke depan mukanya. Ironis!” Aku
berjengit mengutip kata yang Kak Adhi pakai: gadis pujaan. Kak Adhi benar. Eko
memuja Raihanuun, setengah mati.
“Tapi Raihanuun nggak tahu Eko
melarikan diri untuk dia, Dhi. Dan dia juga nggak minta itu,” Bang Hilmy yang
sedari tadi diam kali ini berkomentar.
“Terus karena Raihanuun nggak tahu,
semuanya jadi adil. Gitu?” suara itu keluar dengan nada yang lebih keras dari
yang kurencanakan. Aku meneguk ludah ketika melihat ekspresi Bang Hilmy
berubah.
“Enggak sayang, nggak ada yang
bilang itu semua adil. Dunia memang kadang-kadang ndak adil. Dari dulu memang
udah begitu, sekarang juga masih,” Kak Nadia menenangkan.
“Tapi meskipun dunia ini nggak
adil, kita tetap nggak boleh balas, kan Nad? Karena itu berarti kita sama
jahatnya dengan dunia,” timpal Kak Adhi seperti mengutip kata-kata yang entah
kenapa terasa tidak asing di telinga. Itu kata-kata Kak Nadia untuk seseorang
dengan panggilan Man yang sewaktu di Solo pernah menyekapnya.
Kak Nadia memamerkan cengiran,
“Betul, mas. Yang boleh membalas itu cuma Tuhan. Kalau pun nggak di dunia yang
sekarang, berarti di dunia yang akan datang.”
Kami semua mencerna kata-kata Kak
Nadia dalam diam. Matahari di depan kami turun perlahan. Apa yang dikatakan Kak
Nadia benar, sebenar perkataan orang-orang tentang matahari terbenam di Taman
Panorama. Ngarai Sianok ini sekitar 100 meter tingginya, dengan panjang 1.5
kilometer dan patahan yang kelihatan maha. Cahaya matahari terbenam membias di
langit yang menjadi jingga. Bola raksasa itu tenggelam disedot bukit-bukit
hijau dan tanah cokelat yang menopangnya. Sementara itu, 40 meter di bawah
kami, tertinggal kisah Eko dan Raihanuun-nya, dalam sebuah bunker yang
sudah banyak berubah.
_______
* dipublish di blog atas permintaan kak nadia. semoga kita tetap keren ya kak, hahah..
_______
* dipublish di blog atas permintaan kak nadia. semoga kita tetap keren ya kak, hahah..
keren...
ReplyDeleteagak, ngegantung mel,,
ReplyDelete