Berapa kali aku membuka kotak posting ini dalam sehari? Sekali? Dua kali? Tiga kali? Cuma menatap pada layar putihnya yg kosong, lalu bengong.
Lantas memindahkan pointer pada tab di sebelahnya. Yang hingar bingar. Penuh dengan berbagai celotehan dan update kabar kurang dari 140 karakter. Lalu pada tab satunya lagi, rumah-rumah maya para teman nyata yang selalu membuat iri.
Kenapa tidak bisa tumpah?
Kenapa? Kenapa mama? Kenapa tidak bisa?
CUT! *mulai gila*
*guling-guling*
*gulung-gulung*
*nyuci-nyuci*
*nyapu-nyapu*
*gulung kasur*
mental pembantu bu?
Baiklah, jadi begini saja.
Aku udah 1 minggu tepat kembali ke Jogja. Kos-kosan dari kemarin sepi. Alifa dan Fanny pergi ke rumah Arum dalam rangka reuni tour Jepang jaman dulu. Zahra masih di jakarta, pengobatan kakinya. Azka entahlah ada dimana sementara Tika lagi sibuk-sibuknya ngurus kedai kopi barunya.
Sore beberapa hari ini Jogja diguyur hujan besar. Tapi hujan selalu bikin sore semarak, bukan cuma kelabu dan banjir. Tapi ngomong-ngomong soal banjir, entah berapa hari kemarin hujan turun deras sampai bikin kosan banjir. Iya banjir! sebelumnya hujan sederas apapun mana pernah bikin kos sampai banjir.
Air jatuh di beranda depan kamar Ellen macam pancuran. Sudah bisa dipastikan airnya masuk sampai ke kamar. Terakhir tadi siang, sewaktu Ellen akhirnya pulang dengan menggeret koper, kudengar ia membuka pintu dengan jeritan. Lantai kamarnya pasti basah, digenangi air, kalau atap di sudut kamarnya ikut bocor pasti lebih parah.
Yang jelas-jelas kebanjiran itu kamar Azka. Tadinya aku berebut kamar itu dengan dia. Kamar nomor 13. Tahu kan, kalau 13 itu bisa menjelma jadi huruf apa. Huruf B! Dan huruf itu merupakan huruf awal dari nama tiga kota yang bagiku bersejarah. Selain itu, di kamar 13 itu cahaya masuk lebih banyak karena letaknya lebih dekat teras, dan dari sana langit bisa kelihatan lebih jelas.
Tapi alasan kenapa aku nggak jadi pindah adalah soal kesetiaan. Soal rasa sayang. Bahwa meskipun angka 13 itu lebih keren dari angka 14 dan pencahayaannya lebih bagus dan langit jadi lebih bisa kelihatan jelas, tapi kamarku ini tetap yang paling hebat.
Kusen pintunya rusak karena kucongkeli dengan marah sewaktu kuncinya hilang. Daun pintunya cacat entah karena apa, dan semakin cacat semenjak aku dengan sok pintarnya memplesteri salah satu ujungnya dengan solasiban. Sebuah tindakan yang seharusnya pintar, tapi entah kenapa malah berefek semakin memperburuk keadaan.
Yasudahlah,
Lagipula, di sini aku bukannya ingin membahas soal keanehan daun pintu cacat dan sulit ditutup itu. Tapi soal banjir.
Kamar 13 itu banjir. Air menerobos masuk dari salah satu atap, mengucur turun pada salah satu dinding, tidak deras, tapi kontinue, dan itu sudah cukup bagi Azka untuk mengungsikan barang-barangnya. Menggulung karpet, memberdirikan kasur, kelabakan mencari kain untuk menyerap rembesan air.
Jadi sementara Azka sibuk mengungsikan barang-barang ke koridor depan kamar, aku malah mandi hujan dari pancuran yang mengucur deras di dalam teras. Ini aneh karena biasanya air tidak pernah masuk. Kupikir talangnya rusak. Aku pura-pura mendorong tirai bambu pelindung teras agar air hujan tidak mengucur terlampau deras. Agar tidak sampai menyiprat jauh dan masuk ke kamar Ellen. Sebenarnya ini alibi, aku malah kesenangan bisa cuci muka dengan air hujan dingin yang masuk lewat tirai-tirai bambu.
Jadi ya begitu, Fanny sedang suntuk di kamarnya karena terjebak hujan padahal harus cepar-cepat kuliah. Lia dan Alifa masih berdebat mau pesan makan siang delivery apa yang paling murah. Sementara aku berlarian di koridor kamar-kamar yang masih sepi, berkeliling kosan dengan hepi.
Membeceki lantai sambil kedinginan.
Waktu kecil dulu, papa paling melarangku main hujan dibawah pancuran talang air rumah. Katanya itu kotor, talang air merupakan tempat yang tepat untuk tikus-tikus lewat dan para cicak beranak pinak. Aku percaya itu dengan kepercayaan yang sama sewaktu papa bilang kecoa merupakan bahan baku kecap. Sejak itu aku tidak pernah lagi main hujan dari pancuran talang air rumah, aku juga berhenti makan kecap.
Sekarang aku sudah tumbuh dan tahu bahwa salah satu dari kedua omongan papa itu bisa jadi benar, sedangkan yang lainnya jelas-jelas salah total.
Hal yang benar ialah seharusnya aku mulai kembali makan kecap dan tetap menjauhi main hujan dibawah pancuran talang air. Tapi nyatanya tidak. Aku kembali makan kecap dan tetap main hujan di bawah pancuran talang air. Sejak di kos Megatruh yang dulu hingga kosan yang sekarang di mahendra bayu, main hujan di bawah pancuran talang air merupakan DeLorean dalam bentuk yang berbeda, mampu membawaku ke masa-masa sebelum kuliah.
Bulan-bulan setelah tsunami dulu, hujan sempat menjadi sesuatu yang membuatku meringkuk di ruang keluarga. Merasa takut lalu mencari ketenangan lewat kertas dan pena. Membuat puisi di ruang tivi sebab katanya doa itu puisi. Ini rentang ketika aku percaya bahwa hujan merupakan pertanda kemarahan. Merupakan sinyal bahwa sesuatu yang buruk akan datang. Sebab malam sebelum tsunami itu hujan besar.
Aku ingat dapur rumah Ivena waktu itu banjir semata kaki. Lebih tinggi sedikit dari banjir di tempat menjemur tempo hari. Kak Mar sibuk mengeringkan lantai dengan sapu, sementara aku dan Ivena keheranan campur kesenangan. Menarik sedikit piyama kami dan berjalan-jalan di air tergenang. Minta digigit kutu air. Lalu tidur setelah bercerita macam-macam.
Dan besok paginya bumi marah, tidak rela membiarkan apapun di atasnya tegak. Tidak mau dipijak. Kemudian begitu. Air yang hitam datang dan menghanyutkan banyak hal, beton sekolahku, pohon beringin raksasa di pekarangannya, kursi-kursi kayu dan meja-meja. Lalu teman-teman.
Tapi hujan hari ini datang agak berbeda. Aku bahkan sudah menggigil sebelum hujan turun. Mengusap-usap lengan karena kedinginan, tapi perasaanku ringan.
Trip vietnam-kamboja-thailand tahun depan pelan-pelan mulai terang. Aku mengisi buku biru tebal dari kertas daur ulang yang dispiral itu dengan daftar-daftar panjang. Men-save page beberapa halaman di folder campur aduk dan mem-bookmark sisanya yang belum terbaca. Keputusan pergi ber-empat dan keempat-empatnya perempuan betul-betul brilian. Murah bagi ongkos taksi, dan tidur pun bisa pilih kamar dormitory.
Dan Trip Tidung juga fix. Setelah berbingung-bingung ria apa mau ambil tiket murah air asia, naik gajah wong atau atau pake progo aja. Akhirnya keputusan jatuh pada prameks kutoarjo sambung sawunggalih dan pulang dengan gajah wong. Zahra kepingin naik prameks dan aku penasaran Gajah Wong. Pergi pulang hati senang. Itu yang dicari dalam perjalanan, kan?
Dan akhirnya sudah semester 6! Besok udah mulai kuliah. Dengan tekad membalas kejatuhan nilai terjemah semester lalu dan mengulang telaah teks IV. Semangatku enggak terlalu menggebu memulai semester ini. Tapi semoga stabil sampai akhir. Setelah apa yang terjadi di semester kemarin, kukira itu yang paling penting. Sampai akhir, harus stabil.
Lantas yang paling terakhir, bagi agan-agan wa aganwati yang ada di Jogja, silahkan nikmati rasa kopi terbalik dengan varian berbagai rasa di Kedai Kopi Arabasta. Letaknya ada di depan Kampus KH, di antara deretan ruko para penjual pulsa. Buka mulai pukul 19.00 sampai habis. Dijamin! kopi ini berbeda, karena ada bumbu rahasia di dalamnya.
Cuma di Arabasta!
Sekian. Sampai Jumpa.
Muaahhh..
itu bukan mental pembantu, tapi mental tukang kasur deh kayanya
ReplyDeleteMuuah juga..
nggak cuma kamu kok mel
ReplyDeleteaku juga sering bengong mandangin new post tapi gak tau mau cerita apa :)