Tuesday, August 04, 2020

About Tantrums

Gara-gara obrolan panjang soal tantrum di wa group emak-emak mahendra bayu, akhirnya kepikiran untuk ditulis di blog juga. Highlightnya ialah KS yg didiagnosis psikosomatis saat Z lagi di fase sering-seringnya tantrum. 😅


Akhir tahun 2019 bisa dibilang tahun yg riweuh sekali bagi keluarga kami. Masa transisi pindah ke India setelah tiga tahun nyaman tinggal di Indonesia karena KS tiba2 ide pengen sekolah lagi 😅. Jadi kalau biasanya selama di India kami jadi pengungsi di tempat mertua, kali ini kami memutuskan menyewa flat kecil di kota Kochi.


Di saat yg sama, Z yg saat itu berusia 20 bulan sedang dalam masa perkembangan kognisi, emosi dan sosial yg tengah pesat-pesatnya. Kepindahan mendadak, proses toilet training, diri sendiri yg mulai banyak mau, ditambah penjadwalan waktu menyusu dalam rangka persiapan menyapih agaknya bikin dia sedikit overwhelmed. Walaupun dari luar seringnya ga kelihatan, masih enjoy main dan jarang rewel seperti biasa.


Puncaknya dua bulan sebelum ulang tahun yg kedua, mendadak hampir tiap malem Z tantrum karena kesulitan tidur. Boleh jadi memang karena mainnya kurang capek. Bisa jadi karena stres bosen di rumah. Maklum di flat waktu itu ga kayak di Indonesia yg kalo bosen di rumah tinggal loncat ke taman komplek atau yaa jalan kemana dianterin mas grab. 


Saking bingungnya waktu itu sempet kepikiran mau masukin Z ke paud deket rumah hanya sekedar biar Z bisa bebas lari-larian dan punya teman, lol, mamak sungguh hopeless.


Nyatanya fase tantrum ini ga cuma overwhelmed buat si anak tapi juga papanya 😔. Bahkan meskipun udah memersenjatai diri dengan berbagai teori parenting, how to deal with tantrums and all. Jadi setiap kali Z tantrum, KS akan seperti mendapat anxiety attack; susah nafas, jantung berdetak cepat, sakit kepala, etc.


Hal ini bikin aku pengen ikutan tantrum sulit karena rasanya kayak harus menghadapi dua bocah yg lagi tantrum 😅.  KS yg ga bisa fokus selalu mau ambil jalan cepat menenangkan anak; KASIH GADGET! Yang tentulah bikin aku jadi tambah spaneng krena bukannya menyelesaikan masalah malah nambah-nambahin masalah. A simply tantrum instantly became a full blown tantrum dari yg awalnya cuma cranky ga bisa tidur beralih jadi rebutan gadget. Kzl ga tuh.


Balik ke KS yg mendadak anxiety attack, awalnya dia pikir gejala susah nafas yg dia alami karena asmanya kumat. Seketika buat appointment ketemu dokter Jacob Baby salah satu top pulmonologist di Aster Medcity Hospital Kochi, took an X-Ray, it turns out diafragma yg memisahkan antara perut dan dada agak naik ke atas yg kemungkinan agak menekan organ paru dan bikin KS kesulitan bernafas dengan bebas. Sembari rawat jalan dan memikirkan solusi operasi yg disarankan dokter, kami coba cari second opinion.


Sejak itu, tiada hari tanpa appointment dokter. Dalam seminggu rata-rata ada empat hingga lima kali kami punya janji ketemu dokter. 


Yang pertama kali ditemui tentulah pulmonologist pertama KS yg menangani asmanya sejak kecil, lalu ke gastroentologist karena KS juga punya riwayat GERD dan pernah menjalani operasi pengangkatan ulcer.

Disusul dengan berbagai macam tes ini itu dari mulai xray yg ga cuma sekali dua kali tapi berkali-kali, CT scan, endoskopi, spirometri, hingga tes alergi.


Proses ini sungguh draining, selain karena antrian dokter yg panjang, kami juga harus menempuh puluhan kilometer bolak balik ke kota besar terdekat.


Anehnya segala macam janji temu dan tes-tes tersebut tidak juga membuahkan hasil. Malah semakin membuat bingung, pasalnya dari hasil pemeriksaan, memang ada sedikit kenaikan diafragma di dada KS tapi itupun masih terhitung wajar bagi penderita GERD karena asam dari lambung pasti menekan diafragma namun seharusnya tidak akan sesakit yg digambarkan KS.


Merasa ada yang aneh, beberapa kali aku ajak KS untuk konsultasi ke psikolog, yang mana selalu ditolak walaupun istrinya udah berkali-kali bilang kalau psikolog tuh ya sama ajaa kayak dokter biasaaa.


Habisnya aku curiga karena merasa, sakit KS tuh agak lebai karena sama sekali gak kelihatan tanda-tanda kesakitan fisik signifikan sementara yang bersangkutan ngakunya sakit banget kayak udah mau mati. 


Ujung-ujungnya malah jadi sering berantem 😢 yg akhirnya bikin doi jd tambah stress karena KS jd merasa seolah aku ngeremehin dan ga empati sama sakitnya dia *guilty ✌🏻* ya abisnya ngeselin kalo dibilangin istri napa suka gak mo denger siih 🙄🙄🙄


Faktanya, yang ngerasa begitu ternyata bukan cuma aku aja 😅 dokter-dokter yg kami jumpai pun merasakan kebingungan yg sama.


Makanya selain obat-obatan untuk lambung, asma dan alergi, KS jg diresepkan dokter obat antidepresan (yg kalo kita bawa resep obatnya ke apotik tp tanggalnya udah kelewat sebulan, siap2 disangka junkies. Auto ditolak sembari ditatap tajam penuh curigation plus diinterogasi detaiiillll).


Lalu dua bulan pun berlalu tanpa ada diagnosa pasti. Selama itu juga KS udah mellow pengen operasi aja saking udah bingung banget ini tuh sebenernya kenapaaaa, sakitnya tuh sakit apaaaa, pengobatannya yg bener harus diapaiiinn, hadeuuu~


Sampai akhirnyaaa, dokter bedah spesialis paru-nya KS refer dia untuk ketemu psikiater dooong. Finally~


Kemudian singkat cerita setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dari psikiater rujukan, fix KS didiagnosa psikosomatis.


Jadi apa itu penyakit psikosomatis?

Psikosomatis terdiri dari dua kata, pikiran (psyche) dan tubuh (soma). Gangguan psikosomatis adalah penyakit yang melibatkan pikiran dan tubuh, di mana pikiran memengaruhi tubuh hingga penyakit muncul atau menjadi bertambah parah.

(sumber dari google)


Intinya, istilah psikosomatis ini digunakan untuk menggambarkan keluhan fisik yang menjadi lebih parah akibat faktor psikis seperti stres, depresi ataupun rasa cemas. Jadi katakanlah seseorang merasakan sakit di level 4, namun karena psikosomatis ini, pain atau rasa sakit yg dirasakan orang tersebut bisa saja seperti ada di level 8 atau bahkan 10.


Bukan cuma rasa sakit di level fisik aja sih, kondisi ini juga bisa menyebabkan masalah pada fungsi tubuh. Persis kayak yang kejadian sama Devi Vishwakumar si tokoh utama dalam serial Never Have I Ever yang mendadak jadi lumpuh tanpa sebab pasca kematian ayahnya.


Untungnya diagnosa ini keluar waktu aku sama Zishan udah ke Indonesia, kalo enggak sih udah abis KS aku cubitin. Abisnya udah keluar uang banyak bangettt untuk obat dan cek segala macem selama berbulan-bulan malah udah mau persiapan surgery juga dan semuanya gak pake asuransi, huhuu. Plis balikin budget liburan akooo 😭😭


Yakan kalo dari awal mau pas aku ajakin ke psikolog kan pasti ga perlu buang2 uang, waktu dan tenaga kesana kemari 😤😤😤


Abisnya aku tuh merasa banget kalo pas  Zishan tantrum atau denger ada orang berantem atau suara keras tuh pasti KS langsung mental breakdown deh.


Agak ngerasa kecolongan juga sih sebenernya karena dari hamil aku tuh getol banget edukasi KS soal PPD karena istrinya teman KS ada yang kena PPD udah bertahun-tahun belum juga sembuh. Selain itu karena sadar diri juga sih, punya pengalaman depresi di masa lalu bahkan dengan suidical thought sejak SMP membuatku berpikir akan rentan terkena PPD.


Lah tapi kok malah lupa bahwa partner pengasuhan yg lain (para ayah atau babysitter/nanny misalnya) juga sangat mungkin terserang stres dan depresi.


Beneran sih ternyata bukan cuma emak-emak aja yang bisa stress ngurus anak, bukan cuma ibu-ibu aja yang kudu siap mental. Dalam hal pengasuhan bapak-bapak juga tentu bisa stress dan pastinya juga harus siap mental.

No comments:

Post a Comment

Hai hai terimakasih udah mampir dan baca sampai akhir. Silahkan tinggalkan komentar biar aku bisa mampir ke blog kalian juga.
Cheers :D

UA-111698304-1