Friday, April 21, 2017

Hari Kartini & Kebebasan Perempuan

Jujur saja, dulu saya juga sering ikut nyinyir dalam kontroversi Hari Kartini.
Kenapa Kartini? Apa hebatnya Kartini? Apa yang luar biasa dari berbalas surat dengan para penjajah sementara kita punya Cut Nyak Dhien yang bertempur melawan penjajah. Tidakkah perempuan dengan tombak sudah pasti lebih keren dibanding perempuan dengan pena?

Begitu pikir saya dulu.

Baru saat menonton film Kartini dua hari lalu rasanya pikiran saya terbuka. (Baca review lengkap film Kartini disini) Alasan kenapa hari Kartini perlu ada.

Sebab bukankah setiap pertempuran punya perangnya masing-masing. Cut Nyak Dhien lahir 31 tahun lebih dulu ketimbang Kartini tetapi Cut Nyak Dhien jelas-jelas telah memiliki kemewahan ikut bertempur di medan perang sementara Kartini masih terpasung dalam pakem perempuan lahir-pingit-menikah-mati.

Singkatnya Cut Nyak Dhien telah merdeka lebih dahulu. Cut Nyak Dhien bahkan punya pilihan menolak pinangan Teuku Umar sementara Kartini yang puteri bupati masih harus rela berjalan jongkok untuk menemui ayahnya. Lantas pertempuran macam apa yang harus diperjuangkan perempuan-perempuan jawa yang kastanya sudah otomatis jatuh di bawah laki-laki bahkan sebelum mereka dilahirkan?

Saat tinggal di Malappuram saya sering memperhatikan perempuan-perempuan yang saya temui. Apa rasanya hidup menjadi mereka? diajari cara mengurus rumah semenjak kecil, lalu dinikahkan saat berumur 18 tahun. Tak perlu sekolah tinggi-tinggi, perempuan cukup pandai mengurus rumah dan mengenyangkan perut suami. Kebanyakan bahkan nggak bisa memilih ingin menikahi siapa. Lalu setelah itu mereka diboyong ke tempat mertuanya, memasak, menyapu dan mengepel rumah.

Apa rasanya?

Sudah gitu masih pakai terlilit hutang bank untuk biaya dowry segala. Susah payah minta izin hanya untuk main ke rumah orang tua sendiri tapi saat mereka hamil, mereka dipulangkan ke orangtuanya untuk "beristirahat". Bahkan saat menulis ini aja saya kepingin nangis.

Seperti mesin pencuci baju yang di'istirahat'kan dulu saat lagi macet. Begitukah?

Mereka bilang itu tradisi.
Mungkin selamanya saya nggak akan bisa mengerti bagaimana mereka bisa hidup seperti itu. Apa artinya bernafas tiap hari dalam tradisi yang mengekang? Mungkin selamanya saya nggak akan bisa paham.

Masih terasa jelas juga tatapan iri mereka saat tahu pernikahan saya atas dasar cinta. Nggak banyak perempuan India di daerah saya yang memiliki kemewahan semacam itu. Salah satu tetangga yang sedang hamil 5 bulan mengelus perutnya sambil menatap saya sendu, "saya dulu juga punya pacar tapi orangtua saya nggak setuju,"

Entah kenapa tiba-tiba saya sangat bersyukur Indonesia punya Kartini.

Perjuangan Kartini adalah perjuangan membebaskan perempuan. Kebebasan baginya mungkin cuma nggak perlu capek jalan jongkok dan bisa menuntut ilmu. Kebebasan bagi perempuan Malappuram mungkin hanyalah hak membuat pilihan. Kelihatan sepele, but that's the luxury they can't afford.

Pada akhirnya perang melawan penjajah memang tidak bisa dibilang mudah, tapi bukankah perjuangan melawan akar tradisi kita sendiri juga termasuk perang?

Yang mungkin -mungkin loh ya- sedikit lebih sulit.

Karena membenci orang lain itu mudah, tapi apa yang lebih sulit dari harus membenci bagian dari diri kita?

Untuk itu lah saya rasa Hari Kartini perlu ada, untuk mengabadaikan sosok Kartini yang mati muda dan semoga inspirasi Kartini tetap hidup dalam diri kita.

Selamat ulang tahun, Kartini.




6 comments:

  1. patut direnungkan mel ini :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul mbak. Benar-benar bersyukur saya jadi wanita Indonesia. hehe..

      Delete
  2. Iya kaya di serial anandhi. Ngenes banget, dr kecil dijodohin lalu tinggal di rmh calon mertua, eh lalu calon suaminya selinkuh. Ish ish.
    Btw, berarti ga ada yg abis nikah BOLEH hidup misah mandiri di rumah sendiri ya? How about you? Di rumah mertua jg kah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waah, aku nggak ngikutin Anandhi cuma tahu doang itu tentang perjodohan dibawah umur. Jadinya si calon suami selingkuh? Ya ampun, tp memang kasus perselingkuhan banyak sih di sini, apalagi untuk pasangan yg dijodohkan. Waah apa tak bikin blogpost jg ya ttg perselingkuhan. Wkwkw kan lagi rame tuh valakor valakor. *udah basi kali, Mel* wkwkwk

      Kalo yg boleh misah hidup mandiri sih, ada tulisan lebih lengkap di http://www.melynsalam.com/2017/05/perempuan-dalam-pernikahan.html haha.. kalo aku memang awalnya tinggal sama mertua tapi lagi proses mau tinggal mandiri sih, hehe.. biar merasakan kehidupan pernikahan sesungguhnya. lol.

      Delete
  3. Ga kebayang ya hidup di jaman dulu itu -_-. Hrs nikah ama org yg ga kita cinta.. Blm lagi kalo si suami jg dibolehkan punya selir.. Hufft... Bersyukur memang kita bisa hidup di era skr mba :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak Fanny, untungnya zaman sudah berubah, perempuan sekarang udah pinter-pinter, dan bebas jadi apapun.

      Terima kasih udah komentar mbak. Salam kenal.

      Delete

Hai hai terimakasih udah mampir dan baca sampai akhir. Silahkan tinggalkan komentar biar aku bisa mampir ke blog kalian juga.
Cheers :D

UA-111698304-1