Showing posts with label main. Show all posts
Showing posts with label main. Show all posts

Saturday, July 13, 2013

Sendang Ngembel, Kuburan dan Hal-hal random lainnya.



"Mending kamu langsung nyebur aja, terus tangkepin ikannya,"
"Susah, mbaakk"

"Di sini bisa berenang nggak sih?"
"Bisa, kok"
"Kamu nggak berenang?"
"Udah tadi,"
"Oh, dalem nggak?"
"Enggak,"
"Seberapa?"
"Segini," *nunjuk leher*
"Itu namanya dalem, Odong."

Jadi hari sabtu di minggu yang lalu itu tiba-tiba Azhar minta ditemani ke Sendang Ngembel. Sendang Ngembel? mendengar sebutannya saja seumur hidup belum pernah, dari namanya saja sudah kedengaran seram. Aku pikir tadinya Azhar mengajak ke sana untuk menemui dukun biar skripsinya lancar atau malah biar segera dapat pacar, haha.. berbagai spekulasi bertebaran antara aku, Zahra dan Alifa.

"Jangan-jangan lo mau ditembak, Mel di sana," Alifa berspekulasi. Aku mengernyitkan dahi, "Iya kali aku ditembak pake senapan beneran terus dilelepin ke air kolam,"

Akhirnya, atas dasar saudara Azhar yang baru saja berulangtahun dua hari sebelumnya, aku mengiyakan juga ajakannya meski yang bersangkutan setiap kali ditanya mau ngapain disana malah sok-sok rahasia. Setengah 12 siang aku dijemput Azhar dan kami pun berangkat. Apa banget emang main berdua doang sama si Azhar, tapi berhubung Alifa jadi penerima tamu di Purna Budaya dan Zahra malah pergi sama Abang Bije otomatis ajakan Azhar yang aneh dan misterius itu sebenarnya memberikan solusi daripada cengo di kosan. Kurang lebih satu jam perjalanan kami memperbincangkan tentang topik-topik terkini di Mahendra Bayu.

Di semester-semester pertengahan dulu, Azhar mungkin satu-satunya makhluk berjakun yang mau-maunya ikut kami main kemana-mana dan tidak merasa kapok. Di saat laki-laki lain biasanya merasa cukup dan akan melayangkan no thanks untuk ajakan kedua, Azhar tetap setia.

Padahal ya kalo main kami suka rusuh dan bikin malu, padahal Azhar biasanya suka disuruh jadi tukang poto, padahal dulu waktu ulang tahun Fanny, Azhar terpaksa lari, tawaf kompleks untuk menyelamatkan diri dari tetangga depan kosan yang murka akibat kami mengganggu ketertiban umum, lari tawaf komplek sambil bawa kue sampe jaketnya disemutin, haha...dan karena sering main itulah, akhirnya secara tidak resmi Azhar terdaulat sebagai juru kunci segala kebusukan kami. Jangan pernah bermimpi bisa punya gebetan dari kalangan teman-teman Azhar, malah kalau bisa segenap pacar maupun calon pacar mari bawa jauh-jauh dari Azhar, bagaimana caranya mereka tidak boleh saling kenal. Azhar mengarsip lengkap segala kehinaan kami, Fannya yg A, Zahra yg B, Alifa yg AB, Azka yg O, Onye yg X, Melyn yg double O.

Begitu juga dengan kutukan-kutukan yang senantiasa kami panjatkan beramai-ramai untuk para mantan, segalanya tersimpan rapi di telinga Azhar. Oh, tapi jangan bayangkan Azhar itu laki-laki separuh yang sedikit-sedikit suka ngondek karena sering bergaul dengan cewek-cewek menye ya, Azhar itu anak Antropologii.. eh apa arkeologi yak? haha.. badannya tinggi besar, rambut keriting gondrong terus kumis dan jenggotan, cuma beda dikit sama buto ijo. Hahak,

jangan bayangkan juga Azhar itu tipe cowok ganjen jd seneng main sama cewek.
Azhar itu pendiem yang banget-banget sampe2 bisa2 dikira nggak bisa ngomong,
bisanya cuma nyengir sama ketawa-ketawa doang.

Well, sekian soal Azhar. Balik soal Sendang Ngembel (baca huruf e-nya kayak bilang beli sama elang), usut diusut ternyata Sendang Ngembel adalah nama kolam buatan di Bantul yang dipakai untuk irigasi pertanian. Sekilas tempatnya memang agak klenik tapi sebenernya cuma tempat buat mancing, berenang sama naroh sajen doang :P

Waktu aku dan Azhar sampai, kebetulan ada dua bocah laki-laki yang lagi mancing di sana, namanya Aji sama something siapa gitu aku lupa, haha.. dan begitu sampai disana terkuaklah maksut Azhar sebenarnya yang ternyata mau hunting foto. Jadi beginilah si Azhar ini saudara-saudara, kesibukannya kalo nggak bolak-balik ketemu dosen pembimbing skripsi ya main ke tempat-tempat klenik sambil nenteng kamera. Mungkin Azhar mengajakku karena mau hunting foto ini juga, mengingat anak Mahendra Bayu yang tersohor soal kebringasan mereka dalam menjadi objek foto di setiap kesempatan. Padahal yang namanya Melyn cuma banci kamera kalo bareng anak Mahendra Bayu aja kan ya, kalo sendirian mah kalem =D #pencitraandulu.


Setelah Azhar mengaku puas mengambil foto-foto kami memutuskan pulang. Padahal belum ada satu manusia pun yang berhasil aku bujuk untuk menceburkan diri ke dalam kolam. Tidak Aji dan temannya yang sedang memancing di pinggir sendang padahal sudah kurayu dengan permen lolipop milkita. Tidak juga Azhar.

Di jalan pulang, Azhar membelokkan motornya memasuki sebuah kompleks pemakaman yang terkenal di daerah tersebut. Orang-orang menyebutnya makam sewu alias makam seribu. Di kompleks pemakaman ini terdapat makam ulama-ulama dan pejuang kemerdekaan yang ramai diziarahi oleh masyarakat sekitar pada hari-hari tertentu. Sejatinya niat Azhar berbelok ke kompleks makam ini adalah hendak menumpang kencing, namun karena rasa penasaran kami ternyata berjodoh akhirnya kami memutuskan untuk naik ke bukit yang terletak di sebelah kiri belakang mesjid. Makam sewu.






 

Ternyata di atas bukit isinya makam! *DIGEBOKIN* wkwkw.. Kompleks pemakaman sepi karena menurut penuturan salah satu warga yang sebelumnya kamu jumpai karena nyasar, baru satu hari yang lalu dihelat ziarah besar-besaran ke makam sewu.
Azhar naik sampai ke paling atas bukit sementara aku terheran-heran menakjubi pohon di tengah-tengah makam yang bagaimana caranya kah bisa tumbuh begitu besar? Padahal ranting-rantingnya seperti mati. Padahal daun-daunnya tidak ada lagi.


Jadi itulah hari yang random bersama saudara Azhar Rachman. Pelajaran hari sabtu ini adalah berhati-hati kalau diajak Azhar pergi lagi karena kemungkinan tempat-tempat klenik macam beginilah yang akan kamu datangi. =P

Salam dukun ceria ;)

Thursday, June 20, 2013

Kenapa Ini Disebut Pasar Kangen


Jadi jadi jadi, hari ini puas dan menyenangkan. Mengiyakan ajakan main Nyai Ronggeng Zahra Aulianissa ke pasar kangen jogja ternyata sungguh tidak sia-sia. Menyenangkan. Rasanya seperti melarung tumpukan jenuh yang dibiarkan pepat berminggu-minggu. Semuanya. Saya bosan selama seminggu ini lemah dan jadi pesakitan di kamar. Iya, sebut saja ini pelampiasan :)





Saya senangsenangsenang. Luar biasa senang :) Tuhan memang maha baik, dibiarkannya sendi-sendi saya tidak banyak tingkah hari ini setelah berhari-hari nyeri. Sudah begitu diberkahi partner gila jadi saya tidak perlu menggila sendirian :DD Lalu menemukan yang begini ini adalah bonus dari Tuhan.

Segala macam benda-benda dahulu kala. Saya dan Zahra langsung kalap kesetanan. Ada banyak buku-buku lama, notes-notes dengan kover artis ala baheula, album kaset adi bing selamet waktu masih anak-anak, kartu-kartu bergambar yang sudah kuning dimakan waktu, juga mainan-mainan zaman dahulu. Ada robot dengan batrai besar yang di dadanya ada gambar bergerak saat dihidupkan. Banyak juga kamera analog tua yang dijual tapi sayangnya sudah tidak bisa lagi dipakai, kata abang-abang penjualnya itu cuma buat jadi pajangan.
Ah, cuma bikin gemas sekaligus ngiler mah si abang. Buat apa jual kamera kalau enggak bisa dipakai?


Di pasar kangen saya juga ketemu es tebu. Sejak kecil saya paling suka es tebu. Sayangnya di jogja es tebu merupakan komoditas yang cuma dijual di tempat-tempat tertentu. Padahal waktu kecil tebu itu tanaman yang selalu ada di belakang rumah. Di banda aceh malah penjual es tebu bisa ditemukan di mana-mana.

Lalu lalu lalu, saya sampai kosan dengan membawa pulang 13 kartu pos dan 3 buku bekas. Cuma habis dua puluh lima ribu rupiah untuk semuanya. 3 kartu pos terakhir sama abang-abangnya dikasih gratis, mungkin karena saya dan zahra anak perempuan yang baik dan manis *dilemparin ampas tebu*




Maka, ini lah dia pasar kangen.
Ketika kamu melakukan banyak hal yang sudah lama tidak kamu lakukan.
Menemukan kembali hal-hal yang kamu pikir sudah hilang.
Segala apa yang kamu rindukan itu,
lalu kamu bernostalgia.

Salam kangen :))



p.s: Heihei, kamu tau kamu juga masuk dalam sesi nostalgia saya hari ini.
Jangan ge-er ya. Cuma karena saya  kangen dan kepikiran,
bukan berarti saya belum mengakhiri kamu. 

Friday, November 30, 2012

Fullmoon Bike Trail


Then mission accomplished!

Bersepeda malam-malam menelusuri jalan-jalan sekitar Keraton merupakan salah satu hal tidak tertuliskan dalam daftar kegiatan yang harus kulakukan mumpung di jogja. Sama sakralnya dengan wajib mencoba angkutan umum di suatu tempat ketika mengelana. Sama sakralnya dengan impian naik balon terbang di Cappadocia. Maka begitulah, gerimis baru saja hilang ketika akhirnya aku memutuskan keluar. Iya, akhirnya aku memaksakan diri tetap pergi setelah menggalau cukup lama karena digoda dengan agenda menyalon dengan Zahra dan Alifa. Setelah nyaris seminggu ini terikat kontrak latian gilak karena jadwal perform 3 kali dalam hitungan 1 minggu,  kesempatan bisa melemaskan otot sembari creambath di salon tentu amat sangat menggiurkan dan susah ditolak kan?

Tapi  yang kulakukan kemudian malah mengayuh sepeda ke Pura Wisata, dengan membawa serta peta Jogja yang aku minta dari seorang karyawan magang di TIC malioboro. Begitu bersemangat karena akhirnya menemukan juga Jalan Ireda. Ini salah satu nama jalan yang telah sekian lama aku cari-cari, di jalan ini pernah berkolaborasi para seniman-seniman dari Apotik Komik dan seniman-seniman anggota CAMP (Clarion Alley Mural Project) yang berasal dari San Fransisco dalam proyek kegiatan yang mereka namakan Together/Sama-sama. Pertama kali aku tahu soal project Together/Sama-sama ini tak lain dari sebuah buku raksasa bergambar+Hard Cover pulak yang kutemukan diantara tumpukan buku-buku di Perpustakaan Indonesia Buku. Itulah, awal mula kelahiran obsesiku terhadap Jalan Ireda demi menyaksikan langsung mural buatan tangan Carolyn Castano dan Megan Wilson. Sayangnya, karena waktu yang sudah dekat Maghrib dan janji makan bersama dengan Kak Nadia, pada akhirnya membuatku menunda kunjungan ke Jalan Ireda.

Aku pun mulai sibuk mencari-cari belokan ke kanan menuju Jalan Mantrigawen Lor. Menurut Google Navigation yang aku mintai pertolongan, inilah rute yang bisa mengantarkanku secepatnya ke Perpustakaan Indonesia Buku, tempat aku dan Kak Nadia janjian bertemu. Pada akhirnya mengandalkan Google Navigation juga agar tidak nyasar kemana-kemana. Kalau begitu, apa gunanya tadi mbawa-mbawa peta kalo ujug-ujug pake Google Navigation juga???*dipitak sama pegawai magang TIC xp

jalan ireda yg legendaris di hati, gambar dari sini
Azan maghrib berkumandang ketika akhirnya aku sampai di Perpustakaan Indonesia Buku. Perpustakaan ini merupakan salah satu TBM (Taman Bacaan Masyarakat) dari sekitar 200 TBM untuk 32,5 km persegi luas kota Jogja. Di Perpustakaan Indonesia Buku ini, juga terdapat Radio Buku tempat Kak Nadia biasa mengudara dari hari Selasa sampai Sabtu setiap pukul 1 siang hingga jam 10 malam. Maka, di situlah aku menghabiskan malam. Duduk di angkringan menontoni siaran pertandingan Indonesia-Singapura bersama Mas Gus dan Kak Nadia yang sedang asik bercerita. Membaca-baca buku di perpustakaan, gelindingan di karpet, mengintip ke ruang siar lalu kembali gelindingan.
Yang seperti ini memang selalu menyenangkan. Kadang-kadang setiap orang kan butuh waktu dimana dia berada di tempat yang berbeda dari lingkungan hidupnya sehari-hari, bersama orang-orang baru yang belum terlalu banyak membuatnya makan hati.

Nyaris pukul setengah 11 malam, aku memutuskan pulang. Mengayuh sepeda sembari merasa seperti penguasa jalanan bersama Kak Nadia. Menelusuri jalanan sekitaran Keraton yang lengang. Melewati Taman Sari, melewati pasar tempat aku pernah memarkir sepeda dalam rangka "One Day Bike Trip: kunjungan museum-museum Jogja dan tempat-tempat wisata lainnya", juga bersama kak Nadia.

Menembus Jalan Malioboro, tikar-tikar para penjual gudeg mulai digelar. Muda-mudi berombongan yang kemungkinan besar turis lokal mulai bergegas pulang. Kereta-kereta kencana yang ditarik kuda sudah pulang ke kandang. Sepeda kami bersisian dengan mobil-mobil pick up dan gerobak pengangkut barang yang menyesaki Malioboro kala siang, baju-baju motif batik dan gelang-gelang etnik.

Langit di atas kepalaku cerah dan bulan sedang purnama. Aku mengayuh sepeda sembari nyengir menanggapi celetukan-celetukan para abang tukang parkir. Tertawa-tawa bersama Kak Nadia menertawai kebodohan kami yang mengapakah bisa begitu selo melewati rel kereta api padahal sirine sudah meraung-raung sejak tadi? Kami kira itu alarm palsu dan kalau saja pintu geser rel kereta kedua tidak kembali terbuka, kami tentu terjebak di tengah-tengahnya dan berakhir dengan terlindas kereta lewat macam di film Final Destination.

Ya, dan lalu begitulah, jalanan gelap tapi tiap tiang bercahaya, kulewati malam dengan kencan bersepeda di bawah purnama. Fullmoon Bike Trail, kalau kata Kak Nadia. :D

Friday, June 01, 2012

then we got blue and orange


File foto-foto ini saya namai sesi gale galau. 
Bermula dari kegalauan tingkat akut yang mendera seorang  Nurjannah Melynda sehabis melakukan aksi pengkepoan terhadap seseorang yang dulunya pernah menjadi inti pembicaran dari beberapa tulisan-tulisan galau yang dipostkan di kantong plastik ini. Akhirnya aku iyakan juga ajakan si Zahra Aulianissa Agoes ke Mall Galleria.


Niatnya, kami ke Galleria itu ialah untuk fotobox bersama. Kebetulan, baju kiriman online shop yang dibeli Zahra 2 hari lalu datang tepat sebelum kami berangkat. Maka begitulah, aku dan Zahra keluar kosan dengan baju kembar. Semacam cara menjadi pusat perhatian tanpa perlu bersusah payah. Taraaahh..

 

Very Hell, ternyata fotobox yang ada di Mall itu tutup. Tulisan yang ada di sana sebenarnya "Mohon maaf, istirahat sebentar." Tapi akhirnya, setelah gentayangan lumayan lama di TimeZone yang ada tepat didepan mesin untuk fotobox-an, aku dan Zahra memutuskan percaya bahwa kata istirahat sebentar pada mesin fotobox itu adalah istirahat hingga lebaran 13 januari tahun depan (emang taun depan lebaran di bulan januari? *nanya ke rumput)

Hingga akhirnya, kami berdua memutuskan mendatangi Yusan yang sedang terkapar tidak berdaya dalam rangka galau skripsi di area tempat makan di lantai 3 juga. Kondisinya saat itu lumayan mengenaskan: kepala   menggeletak di meja, laptop terbuka di depannya. Horrific!

Tapi, mataku yang jeli tidak terpengaruh pada pemandangan yang memilukan hati itu. Aku melihat potensi yang tersia-sia pada laptop yang terbuka. Dan begitulah...
Maka, yang selanjutnya terjadi adalah apa yang dapat disebut sebagai naluri alamiah remaja galau+patah hati mesin fotobox tutup tatkala melihat laptop berwebcam nganggur. :D

 
semacam burung hantu kembar yang tertukar xP

Special Thanks buat Kak Yusan yang sudah sudi mencet tombol oke webcam laptopnya untuk hampir seluruh foto. It's such our luck to found u there, kak :)

dan sekarang, mari doakan Kak Yusan masuk surga juga cepat kelar skripsinya.
Ameen..
Salam Burung Hantu.

Monday, April 16, 2012

random

gambar dari sini
Kamu tau kenapa aku suka banget malioboro, bi? Karena di sana banyak bule. Aku bukannya penggila bule atau apa, tapi barangkali ini gara-gara keracunan Life Travellernya Mbak Windy Ariestanty. Yang ada di kepalaku setiap kali liat bule-bule itu, bi, iri. Mungkin lebih tepatnya semacam rindu sama perjalanan. Kapan ya aku bisa ngerasain kayak mereka, bi. Mendamparkan diri di tempat asing, tapi sama sekali nggak merasa terasing. Berada jauh dari rumah tapi bisa tetap merasa ada di rumah. Macam aku waktu trip sumatera dulu. Aku kangen itu, bi. Ketemu orang-orang baru, luntang lantung di jalanan manggul carrier 10kilo, ngerasaian keadaan-keadaan yang kadang-kadang out of handle, situasi-situasi yang di luar ittinerary. Mensyukuri kebaikan-kebaikan Tuhan lewat hal-hal kecil, bahkan meski itu cuma sesederhana keramahan.

Mungkin ini juga yang bikin aku jadi seneng ngehallo-in bule2 itu bi, muka tebel aja gitu, dibales ya sukur nggak dibales belagu amat tu bule *minta banget dibales :P
Kemarin kan, bi, aku main sama adek-adek dari Bojong di taman pintar. Iya, yang aku ajarin nari rampo setiap sabtu-minggu itu. Akhirnya setelah aku yang tiap minggu dibonceng Hanip bolak-balik 120kilometer Jogja-Bojong Kulonprogo, mereka yang jadinya main ke Jogja. Rame banget bi, ada kali 30an orang lebih. Nah, abis dari taman pintar itu, kami ke Taman Sari dan karena waktu fieldtrip mata kuliah Pemanduan Wisata kemarin aku juga ke sana, jadilah kemarin itu aku yang nge-Guide-in mereka. Salsa, Mbak Andri sama Hanip udah tepar mereka, jadinya cuma duduk-duduk aja di tangga. Eh di sana kan banyak bule ya, bi, nggak cuma bule aja sih, tapi emang kemarin itu rame banget bi di sana. Ada kali tuh 3 rombongan. Tapi karena aku perginya sama 30an pecahan botol, tetep aku dong yang paling keren, gahahha..

Tapi emang rusuh banget bi, kemaren itu. Yaudah deh, jadinya aku yang jelasin soal water castle itu, nggak tau deh mereka pada ngerti apa enggak, soalnya kan mereka ngertinya bahasa jawa ya bi, biasanya yang tukang cerita itu Hanip, tapi karena Hanip-nya tepar, yaudah aja aku yang guide-in mereka. Terus, kan bi, ada rombongan bule yang kayaknya dari belanda atau jerman gitu, mereka heran aja kali ya ngeliatin aku ngeguide-in bocah2. Couple Traveller yang aku lewatin juga ketawa2 ngeliatin aku jadi giude anak-anak. Wondering kali ya, ngeliat bocah-bocah item, pecicilan nan eksotis macam adek-adek bojong ini.

Abis itu kan bi, waktu pulang aku sama Hanip nganterin adek-adek dulu ke parkiran. Mereka parkirnya di deket pasar, belakang Taman Sari itu, bi. Yang tempat aku dulu parkir sepeda waktu aku sepedaan dari pagi sampe sore keliling musium sama tempat wisata bareng Kak Nadia. Kan itu jalannya ngelewatin benteng yang separuh runtuh itu kan ya bi, nah waktu pulangnya karena kami ngelewatin situ lagi (karena Hanip parkirnya di depan pintu masuk Taman Sari) eh, aku ketemu lagi bi, sama rombongan bule entah Jerman entah Belanda yang tadi ketemu di Taman Sari. Mereka ada 4 orang bi, sepasang-sepasang. Terus salah seorang mas-mas bule yang tadi waktu di Taman Sari aku sapa bareng adek-adek itu, ngeliat aku. Matanya kayak bilang, "eh.. kamu kakak-kakak chempreng charming yang ngeguide-in anak kecil-anak kecil tadi!"

Mungkin ini yang disebut-sebut Mbak Windy sebagai Bahasa Dunia, bahasa kalbu kalo kata temannya, Mbak Echa, bahasa paham.

Waktu itu aku refleks aja gitu, teriak hai sambil dadah dadah heboh ke si mas bule. Soalnya kan dia liat aku kan ya bi, dan aku bisa baca ekspresinya, seenggaknya aku ngerasa bisa baca apa yang ada di pikirannya. Bodo amatlah, bener apa enggak. Sampe akhirnya si Hanip nanya, "itu siapa, mel? dia kenal kamu?" aku cuma bilang "Enggak tau" sambil ngangkat bahu dan jawaban ini kayak-kayaknya bikin Hanip berdoa, berharap bisa enggak perlu kenal aku. Dia mah, emang suka gitu bi, suka malu kalo ajak aku jalan.

Abis itu bi, di jalan deket alun-alun waktu udah mau pulang, aku ketemu lagi sama rombongan bule entah jerman entah belanda itu bi, kan macet ya, nah, van mereka jalan tepat di sebelah motor Hanip, pertamanya sih aku ngga nyadar bi, tapi ngerasa aja ada yang ngeliatin di sebelah, eh waktu aku noleh ada si mas bule lagi dadah-dadah. Lagi-lagi refleks, aku teriak "misteeerrrr" sambil balas dadah-dadah.

Dan si Hanip kayaknya udah pengin banget nurunin aku di jalan saat itu juga.

Aku jadi ngayal-ngayal bi, suatu saat aku pasti bakal kayak gitu juga. Entah rame-rame entah sendirian. Penginnya sih ke Mekkah, bi. Judulnya trip timur tengah, tapi itu aku rencanainnya begitu lulus bi. Orang abis lulus planningnya kerja dimana, aku malah trip kemana. Bego ya.

Tuesday, April 03, 2012

Trip Tidung: Jakarta

Sesuatu yang seringkali masuk ke dalam pikiranku setiap kembali menengok Jakarta setelah kali pertama bukan lagi tentang gedung-gedung betonnya yang tinggi menjulang, bukan tentang jalan-jalan layang yang saling bertindihan ataupun lampu-lampu kuning gemerlapan yang semarak begitu malam.
Tapi tentang bagaimana atap-atap bisa berhimpitan dengan begitu padat? Bagaimana bisa dinding-dinding saling berdampingan dengan sebegitu rapat?

Bagaimana bisa orang menjadikan sepetak tanah di bawah jembatan sebagai tempat tinggal?

Hal-hal yang paling kuingat dari Jakarta kebanyakan memang bukan hal menyenangkan. Yang aku tahu, segala sesuatunya sangat tidak welcome.
Tapi kali ini lain. Yang paling menyenangkan dari berperjalanan adalah menemukan rumah, dan rupa-rupanya butuh kali kelima untuk akhirnya aku berhasil menemukan rumah di Jakarta.

Di stasiun pasar senen, kami dijemput oleh Ayah Zahra dan abangnya. Saat itu pukul 3 pagi buta dan orang-orang di stasiun bergelimpangan di lantai seperti yang kulihat di barak pengungsi pasca tsunami. Ayah Zahra adalah pria paruh baya seumuran ayahku, dengan celana jeans dan sepatu olahraga serta topi yang dipakai untuk menutupi uban di kepala, penampilan ayah zahra jelas tampak lebih muda. Impressif! Sementara abang zahra adalah sosok kebalikannya. Kata yang tepat untuk menggambarkannya adalah Luar Biasa! Luar biasa pendiam dan luar biasa kurus! Benar-benar luar biasa!

Rumah yang ditempati keluarga Zahra adalah rumah tua warisan neneknya. Ada pohon belimbing seperti yang ada di rumah nenekku dulu. Percaya atau enggak, rata-rata rumah tua pasti selalu ada pohon belimbingnya. Iya, ini memang lagi-lagi enggak ilmiah.
Begitu sampai di rumah, Kak Yusan jadi orang paling pertama yang memutuskan mandi. Entah kenapa, badanku jadi ikut-ikutan gerah. Anehnya, air di rumah Zahra sama sekali tidak dingin, di sini, segala sesuatunya serba hangat.
Sementara kami mandi dan rusuh di kamar Faza, Ibunya Zahra menyiapkan kentang goreng dan roti bakar, juga 2 cangkir teh hangat yang nikmat. :)

Begitu perut kenyang, satu-satunya hal yang dapat dilakukan kemudian adalah tidur. Bangun-bangun, hari sudah terlanjur siang. Si Zahra sedang berjemur di halaman, melakukan ritualnya setiap pukul 11siang. Aku menemaninya sambil ngegosipin Manny.

Jadi ceritanya si Manny ini kucing yang selalu jadi bulan-bulanan antara emaknya zahra, zahra dan faza, bahkan jg mungkin oleh seluruh keluarga karena kecemenannya yang selalu kalah kalo rebutan makanan sama kucing tetangga. Akhirnya karena mungkin kasihan, ibunya zahra sering ngasih Manny makanan. Bahkan budhe zahra yang tinggal agak jauhan juga kadang2 nitip makanan buat dia. Dari sini aku jadi agak-agak curiga kalo si Manny ini jangan-jangan punya semacam ilmu yang bisa bikin orang melas setiap liat dia. Apalagi di deket pahanya ada semacam pitak besar misterius yang berhasil memicu timbulnya bermacam bentuk praduga. Tapi yah, karena si Manny-nya juga nggak bisa jelasin setiap kali ditanya "Men, itu pitak lo kenapa?" akhirnya misteri pitak di paha si Manny tetap jadi misteri.

Sambil nemenin Zahra dan sambil ngegosipin Manny, iseng-iseng aku memperhatikan pohon belimbing yang meneduhi kami. Dulu, di depan rumahku ada pohon belimbing macam begini. Karena bentuknya yang  mirip bintang, bagiku, memakan belimbing selalu menyenangkan, kita bisa berpura-pura menggigiti tepian bintang. "Kok belimbingnya nggak ada yang jatoh sih?" tanyaku pada Zahra. Membongkar kebenaran bahwa sebenarnya semenjak tadi aku menunggui belimbing jatuh seperti yang pernah kulakukan di bawah pohon merkisa di depan markas kapala sastra. Akhirun, kuputuskan untuk memanjat, dan itu malah membuat mpok  warung depan rumah Zahra berteriak.

"Aduh neenggg jangan manjat-manjat"
Aku cengengesan. Menjawab enggak apa-apa sambil gelantungan di pijakan pertama.
"Udah.. udah, ini suruh si om aja. Om, tolong Om, panjatin Om. Turun.. turuuunn.. udah turun ajaa"

Aku turun sambil kegirangan. Menatap Mpok penjaga warung ini, dengan geli, si Mama Davi. Senang. Nekat memanjat ternyata membuatku menemukan rumah yang lain. Namanya perhatian.
Si Om, masuk pekarangan Zahra sembari membawa plastik hitam, memanjat dengan gampang dan membawa turun banyak belimbing warna keemasan. "Bagi dua, Om," seru Zahra begitu melihat belimbing yang tumpah sampai keluar plastik. Si Om berkeras menolak, begitu juga Davi yang tiba-tiba datang merengek pada ibunya minta makan. Yasudahlah, "Kita rujak aja, Ra." kataku akhirnya.
Di dalam rumah kami mencuci potong belimbing2 lalu membuat bumbu rujak dari gula merah dan kacang mede. Enak!

Siang-siang panas terik, akhirnya si Faza pulang abis dari liputan untuk tugas sekolahnya. Maka, mulai sibuk lah kami menyusun-nyusun rencana main. Tapi ternyata Faza yang waktu itu pulang bareng Jule aka Julia ada agenda latihan saman di sekolahnya: SMA 24! Jadilah dengan naluri kepo yang tak terbendung, aku pasang muka melas minta diajak. Dan kami pun berangkat.

Dari rumah Zahra yang berada deket banget dari lampu merah Slipi, kami naik angkot 109 (kalo nggak salah) dan turun di sebuah pasar. Dari situ kami jalan kaki sekitar 7menitan untuk akhirnya sampai di sekolah Faza yang warna temboknya dicat ijo ijo meriah. Aktifitas yang kami lakukan di sana antara lain, kalo nggak ngegosipin Faza yang ternyata galak banget ke adek kelasnya, ikut2an nyanyi saman, poto-poto, adu panco, ngerusuhin kantin sekolah, mesen emi, ngesinisin bahan stereoform wadah mi rebus yang nggak ramah lingkungan, maksa minta diajarin gerakan sama jule, sampe kenalan sama angel, anak kecil yang suka banget nonton orang latihan saman dan kayaknya agak-agak terobsesi bisa nari saman. Tenang ya ngel, nanti kapan-kapan kakak cantik ajarin lagi gerakan saman *ditimpuk rapa-i ramai-ramai


latihan anak kelas 1 sama kelas 2
faza galak

FYI, sebenarnya tarian yang sering disebut-sebut orang sebagai Saman bukanlah Saman yang sebenarnya. Tari Saman sesungguhnya memakai bahasa yang berbeda yaitu bahasa Gayo, dan biasanya tidak pakai alat musik. Musik yang dihasilkan berasal dari gerakan tangan yang bener-bener ritmis dan luar biasa cepat. Cuma sayangnya, masyarakat lebih familiar pada tarian Saman yang ditarikan oleh sekumpulan perempuan yang mana sebenarnya itu bagian dari tarian Ratoh Deuk atau Rampoe. Sedangkan Saman yang pada November 2010 lalu ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia tidak benda ya tari Saman Gayo ini.

Saman
Baiklah, sekian soal saman-nya. Begitu selesai latihan, tadinya kami (aku+kak yusan+zahra) udah sepakat langsung pulang, tapi karena Faza agak-agak ngotot minta ke Sency, akhirnya bergerak lah kami kesana hanya untuk makan pancake. Untungnya, waktu kami ke sana sedang jam coffee time, jadilah kami dapat paket 35ribu, single pancake or waffle on variant+hotdrink all item. =9


 faza cantik :)


Tiba-tiba udah maghrib waktu akhirnya pancake dan waffle di depan mata udah habis semua. Ibunya Zahra ternyata udah rame nge-bbm-in Faza supaya cepat sampai rumah. Langit udah gelap dan besok pagi-pagi kami mesti berangkat ke Tidung! Destinasi yang menjadikan perjalanan ini ada. Maka, begitu Zahra Aulianissa Agoes dan Wildah Fazatin Agoes ini selesai shalat, kami pun bergerak pulang.

Bus yang kami naiki penuh sesak. Ada seorang ibu muda cantik yang lagi hamil naik dan duduk di kursi sebelah kiriku, sementara di sebelah kananku ada mbak-mbak yang sekilas mirip Sanah. Teringat orang-orang yang tidak kukabarkan bahwa aku sedang di Jakarta agak-agak membuatku merasa bersalah. Yang kukabarkan cuma Kak Adhi dan itu pun enggak sempat ketemu. Aku mengubur perasaan bersalah sambil menunggu lampu merah slipi menyala. Kami berempat menyebrang. Berjalan pulang.

n.b: ternyata setelah diklarifikasi, nama Manny itu sebenernya Mengi dan nama panjang Faza bukan Wildah Fazatin melainkan Wildah Faizatin Agoes, sementara nomor angkot yang kami gunakan bukan 109 tapi 009. (clarified by Zahra in her room, Selasa 03/04/2012 22:10)
UA-111698304-1