Maka, inilah terang dan bingar. Riuh
dan ramai. Dan semuanya gara-gara Sukab yang bodoh, tolol menyebalkan juga
tidak pakai otak.
Aku memutar kursi merah muda yang
kududuki, di pandanganku rak rak berputaran, minuman-minuman kemasan,
berbungkus-bungkus rokok, orang-orang dengan seragam, orang-orang tanpa
seragam, orang-orang berkulit sawo matang hingga cokelat pekat, orang-orang
berambut keriting dan yang tidak berambut keriting, yang memakai topi maupun
tanpa topi. Lalu lampu-lampu.
Berganti-gantian, orang masuk dan
keluar. Memilih roti-roti, lantas membeli kopi. Tapi banyak juga yang dengan cepat langsung mengantri di
kasir untuk membayar rokok serta bir. Sementara aku masih saja diam dalam kursi
yang berputar: menyeruput kopi yang panasnya mulai pudar. Menghitung kendaraan
yang lewat di jalan kaliurang, check in foursquare dengan wifi gratisan, lantas
meng- flight mode hape. Menatap kasihan pada lelaki paruh baya yang teler di
dekat parkiran motor sambil mengunyah astor. Jari-jariku rasanya beku.
Dinginnya malam ini bikin ngilu, dingin yang
sama yang dulu pernah menjadi candu. Ini sudah lewat tengah malam, seharusnya
aku melangkahkan kaki untuk pulang. Tapi yang namanya pulang itu kan adalah perjalanan kembali
menuju kenyamanan setelah penat yang hingar bingar. Namun tentang apa yang disebut orang-orang dengan rumah merupakan sesuatu
yang serasanya saat ini aku enggak punya. Jadi aku melangkah saja. Sembari sibuk sendiri dengan kekosongan yang mengisi kepala.
Orang-orang tentu menatap aneh pada anak perempuan yang berjalan kaki sendirian sambil membentur-benturkan permen cupacups mengikuti irama saman. Lampu-lampu berlesatan di jalan kaliurang. Malam yang pekat kadang-kadang memang bisa menakutkan, tapi memangnya apalagi yang layak kutakuti sementara keberadaanku sendiri sudah cukup mampu membuat ngeri. Dikira orang stres masih lumayan, paling sering malah dikira setan sama tukang sate gerobak dorongan. Toh tidak mengapa, karena memang hanya orang-orang
tertentu yang tahu betapa semesta bisa jadi sebening ini di dini hari.
Bagaimana dingin yang pilu bisa berefek seperti candu.
Langit
di atas kepalaku warnanya merah dan hening ini membuat betah. Menenangkan
adalah ketika akhirnya menemukan jeda setelah suara-suara yang terasa sangat
ribut di telinga, bahkan bisingnya menembus sampai kepala. Hingga kemudian, suara paling ribut dan
bising yang dapat kutemukan adalah suara kakiku yang bergesekkan dengan sendal
setiap kali berjalan, suara alat masak dari gerobak penjual nasi goreng, dan
suara terbahak muda-muda yang mungkin sedang mabuk di kegelapan gang.
Nyaris pukul 3
Sebelum bikin mi rebus
telur untuk sahur puasa arafah.
No comments:
Post a Comment
Hai hai terimakasih udah mampir dan baca sampai akhir. Silahkan tinggalkan komentar biar aku bisa mampir ke blog kalian juga.
Cheers :D