Lembar
malam baru saja turun. Lampu bercabang
tiga pada tiang lampu yang berjejer di depan gedung BNI baru saja dinyalakan,
nyala birunya masih kelihatan samar. Aku melirik jam yang menempel di tangan
seorang pemuda yang sedang berfoto dengan Anton . Ah, masih satu setengah jam lagi, kenapa waktu bisa-bisanya
berjalan selambat ini?
“Ciyeee..
yang nungguin,” suara itu datang bersamaan dengan sebuah siku yang menyenggol
lenganku. Sesosok perempuan, memakai baju putih, berambut hitam panjang yang
kusut berantakan, dan make up ala kuntilanak telah duduk di sisi kiriku.
Sepasang matanya yang dihiasi lingkaran hitam mengedip jahil, bibir merah berantakannya
nyengir.
Ah,
selalu ada senyum yang terkembang begitu saja, setiap kali setan-setan ini
menggodaku soal gadis itu. Namanya Dara, gadis manis asli Yogyakarta yang
sekarang kelas 2 SMA. Seminggu dua kali ia bersama teman-teman sekolahnya melakukan
street performance tari aceh di spot
nongkrong paling top di kota ini. Di tempat ini juga lah selama beberapa bulan
terakhir aku bersama beberapa rekanku melakukan street art performance sebagai manusia patung untuk tugas matakuliah
pertunjukan seni jalanan. Kebetulan ini yang membuat kami akhirnya berkenalan.
“Masih juga kau tunggu gadis penari itu,
Dirga?” logat medan Anton
membuat pertanyaannya sampai ke telingaku seperti orang marah-marah. Diraihnya
sebatang rokok yang sedang dihisap Saras lewat sela kain putih yang meliliti
tubuhnya dari kaki hingga kepala, lalu berusaha duduk dengan susah payah akibat kostum manusia ikan yang
dipakainya.
Senyumku
otomatis terkembang mendengar kata gadis penari yang sudah tentu merujuk pada
Dara. Asap rokok yang dihisap Anton melayang di bawah lampu, mengingatkanku
pada segenap rindu yang luruh pada gadis itu.
“Dua
hari lalu gue nembak dia,” kataku pelan.
Saras
dan Anton yang duduk di sebelahku tersentak bersamaan. Kening mereka
berkerut-kerut tanda tidak percaya.
“Ah,
yang betul kau, Dir?” seperti biasa, reaksi Anton lebih cepat dari Saras. Aku
mengangguk cepat sambil menjawab iya.
“Dirga,
lo lagi becanda? Dia kan masih anak kecil, ” kata Saras dengan wajah kuntilanak
yang mengernyit. Suara paraunya bercampur dengan klakson kendaraan yang beradu
di lampu merah dekat kami duduk melesehkan diri.
Aku
menggeleng pelan. Anton di sebelahku tertawa-tawa senang sembari menggeleng-gelengkan
kepala tidak habis heran.
Yang
tidak Saras maupun Anton ketahui ialah bahwa sebenarnya aku sudah beberapa
bulan dekat dengan Dara. Hari pertama kami bertukar nama aku langsung mengirim
permintaan pertemanan di facebook dan
memfollow twitter-nya. Bermula dari
sering chat di facebook itulah kami lantas bertukar nomor handphone dan sering jalan bareng. Anton dan Saras bisa-bisa kena serangan
jantung kalau tahu sudah sejauh apa aku melancarkan pendekatan pada Dara tanpa
sepengetahuan mereka.
“Gue bener-bener suka sama dia, Ras. Dengan kadar
yang lo berdua nggak bakal nyangka. Gue sendiri juga nggak nyangka kalo ternyata
bisa sesuka ini sama dia. Dia itu beda.”
Saras
mendesah pelan, membuang mukanya ke arah jalan aspal.
“Terus
gadis impian kau itu jawab apa boi? Diterimanya kau?” tanya Anton antusias. Rasa
penasarannya belum hilang sama sekali.
Mendengar pertanyaannya itu giliran
aku yang mendesah pelan kali ini.
Pada
hari saat aku menyatakan perasaanku pada Dara, gadis penari itu menjawab iya saat
itu juga, di tempat yang sama, dengan jawaban yang diharapkan oleh semua bujang
di dunia yang sedang menyatakan perasaan kepada gadis impian mereka.
Celakanya,
yang tidak aku perkirakan adalah begitu aku pulang setelah mengantar Dara, Mama
sudah duduk menungguku di ruang tamu. Matanya tajam mempertanyakan siapa gadis
belia yang siang tadi berkunjung ke rumah kami. Lebih parah lagi, Mama bahkan menyebut
Dara bocah.
“Please, Dirga kamu bilang ke Mama kalau
bocah itu bukan pacar kamu. Kamu nggak mungkin kan suka sama anak sekecil itu.
Yang bener aja, adik kamu Sheila bahkan masih lebih tua dari dia. Kamu kalo pilih pacar yang bener dong Dirga. Masa anak
kecil kayak gitu dipacarin,” rentetan kata-kata itu pedas, keluar dari mulut
Mama dengan nada tidak terima.
Aku
menghela nafas, tidak berdaya membalas kata-kata sengit dari mulut Mama. Membayangkan
Dara yang kalau saja mendengar langsung semuanya sudah tentu akan terluka. Mama
bahkan tidak memberikan kesempatan padaku untuk menjelaskan, setelah
memuntahkan semua kata-kata pedas itu, Mama melangkah menuju kamar
meninggalkanku tergugu di ruang tamu dengan hati pilu.
No comments:
Post a Comment
Hai hai terimakasih udah mampir dan baca sampai akhir. Silahkan tinggalkan komentar biar aku bisa mampir ke blog kalian juga.
Cheers :D